Senin, 30 Juli 2012

Izinkan Aku Menjadi Guru

Kisah ini adalah pengalaman pertamaku mengajar di sekolah. Menjadi guru bagi setiap anak, yang dari tatapan matanya memancar sebuah ungkapan, “Bapak, aku ingin belajar!”

November 2011. Hp berbunyi, pesan itu masuk. Sebuah pesan yang menjadi awal dari semua cerita. Awal yang menentukan dan memberi banyak makna kehidupan. Aku membuka pesan itu. Pengirimnya adalah adik kelas yang menjadi rekan seperjuangan di organisasi kampus. “Aslmkm.. Kak, sekolah lg bth guru matematika. Kakak mau?”

Sejak 2 bulan yang lalu aku memang berniat menjadi guru di sekolah. Walaupun masih berstatus sebagai mahasiswa yang harus segera menyelesaikan studi, keinginanku itu rasanya terus mendorongku untuk sejenak mengabaikan tugas kuliah. Niatku hanya didasari 1 alasan, aku ingin segera mempraktekkan ilmu yang sudah aku dapatkan.

Setelah berpikir beberapa saat, aku merespon sms itu. Hatiku tertegun ketika adik kelasku mengatakan bahwa sekolah itu sudah 2 bulan tidak memiliki guru matematika. Masya Allah. Perasaan sedih dan bingung menjalari tubuhku. Bagaimana mungkin sebuah sekolah di Jakarta Pusat, inti dari sebuah negara luas bernama Indonesia, tidak memiliki seorangpun guru matematika? Bagaimana nasib anak-anak yang belajar di sana?

Aku memutuskan untuk menjadi guru di sekolah itu. Setelah membuat janji pertemuan dengan kepala sekolah, keesokan harinya aku datang menemuinya. Sumpek, kumuh, dan kotor. Itulah kesan yang aku tangkap ketika pertama kali melihat sekolah itu. Aku melihat ruang guru yang tidak terawat. Banyak tumpukan kardus di sana-sini, debu, galon air yang maaf menjijikkan, dan nyamuk. Suasana seperti ini memang sepantasnya dihuni oleh nyamuk. Ya Allah, inikah sekolahku?

Ketika dipertemukan dengan pihak yayasan, aku dijelaskan tentang jadwal mengajar dan perhitungan gaji yang diberikan. Seketika itu aku teringat sebuah ungkapan, gaji sebulan untuk seminggu. Akhirnya aku mengatakan kepada beliau, “Bu, saya di sini tidak mencari uang. Insya Allah saya ingin mengajar di sini. Untuk pengalaman dan pengabdian.”

Menjadi guru di sekolah tidak selalu berarti menjadi guru bagi anak-anak. Itu yang aku yakini. Apalah artinya jika keberadaan seorang guru di sekolah tidak diterima oleh anak-anaknya? Menjadi guru harus direbut dan diperjuangkan. Direbut dari hati anak-anak. Diperjuangkan dengan berbagai strategi dan metode mengajar yang menarik. Maka setelah aku diterima menjadi guru di sekolah itu, aku langsung menyusun strategi merebut dan memperjuangkan hati anak-anak. Aku mengatakan dalam hati, “Izinkan bapak menjadi guru kalian, nak.”

Januari 2012. Semester baru datang. Menyambut setiap anak yang datang ke sekolah. Liburan telah memberiku waktu untuk mempersiapkan segalanya. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di kelas. Aku berjanji akan merebut dan memperjuangkannya.

“Assalamu’alaikum. Nama saya Hafiz Farihi. Kalian boleh panggil saya Pak Hafiz. Bapak adalah guru matematika kalian yang baru.” Aku mengedarkan pandangan ke setiap anak, menatap sesaat mata mereka. Ingatan bahwa sudah beberapa bulan mereka sekolah tanpa guru matematika membuatku bersemangat untuk mendidik mereka. Aku menciptakan suasana yang santai dan bersahabat dengan harapan anak-anak itu mau menerimaku sebagai gurunya.

“Siapa yang suka main bola?” Beberapa anak laki-laki mengangkat tangan dengan antusias. “Siapa yang suka main basket?” Beberapa anak perempuan juga mengangkatkan tangan. “Kalian tahu apa yang biasanya dilakukan tim sepak bola dan tim basket sebelum bertanding?” Seorang anak menjawab, “Latihan pak.” “Iya betul. Apa lagi yang dilakukan oleh mereka?” “Berdoa pak.” “Nah, tepat berdoa. Kalian pasti tahu biasanya mereka berkumpul membentuk sebuah lingkaran, kemudian berdoa, dan setelah itu mereka berteriak menyebutkan nama tim mereka seperti ini.” Aku mencontohkan dengan gerakan sambil berteriak seperti anggota tim bola dan basket. Anak-anak tertawa.

“Kalian tahu mengapa mereka melakukan itu? Karena itu bisa membuat mereka semangat. Dan semangat itu yang akan membuat mereka menang.” Anak-anak mendengarkan setiap ucapanku. “Nah, bapak ingin kita juga semangat untuk belajar. Jadi kalau bapak bilang Salam Semangaaat. Kalian jawab Ayo Ayo Ayo, Hu!” Seisi kelas tertawa lagi. Aku senang, tertawa adalah salah satu tanda bahwa mereka nyaman. Aku merasa yakin mereka bisa menerimaku sebagai seorang guru. “Pakai gerakan tangan ya biar lebih semangat. Ayo semuanya berdiri.” Serentak anak-anak berdiri sambil tersenyum. “Salam semangaaat.” “Ayo ayo ayo, Hu!”

Waktu berjalan begitu cepat. Kehadiranku di sekolah sudah terhitung beberapa bulan. Aku bahagia mengajar di sekolah itu. Anak-anak juga tampaknya senang dengan kehadiranku. Mereka selalu menyapa, tersenyum, dan mencium tanganku setiap kali berpapasan. Mereka curhat dan bercerita banyak hal kepadaku. Tentang teman-temannya, tentang gurunya, bahkan tentang keluarganya. Saat itu aku bersyukur. Ya Allah, aku sudah menjadi guru.

Kamis, 05 Juli 2012

23 Episentrum: Sebuah Catatan

Jika ada yang bertanya apa passion saya. Saya jawab pendidikan. Walaupun kuliah di program studi pendidikan matematika, saya menyadari bahwa kecintaan saya terhadap pendidikan jauh melebihi kecintaan saya terhadap matematika. Saya menemukan rasa itu sejak bergabung di Education Watch, sebuah organisasi kecil di kampus yang fokus pada pengkajian isu-isu pendidikan nasional. Dulu, saya merasa dunia pendidikan baik-baik saja, tapi di sini saya menemukan banyak keganjilan. Banyak permasalahan di dunia pendidikan yang harus segera diselesaikan.

Sebenarnya antara jalur kuliah dengan passion saya, tidak terlalu jauh penyimpangannya. Saya memang akan menjadi guru nantinya. Lebih tepatnya guru matematika. Namun saya merasa tetap saja ada yang kurang sesuai. Hal ini terkait dengan pilihan saya untuk program S2 nantinya. Terkait juga dengan pilihan karir nantinya. Apakah setia dengan matematika ataukah mengikuti keinginan hati di pendidikan?

Buku 23 Episentrum membantu menjawab semua kegelisahan itu.

Saya bertemu dengan Adenita, penulis 23 Episentrum, dalam sebuah konferensi nasional pendidik muda di Jakarta. Adenita menjadi salah satu pembicara yang tampil pada hari pertama dari rangkaian dua hari acara. Adenita mengajarkan saya akan makna sebuah passion. Tentang pentingnya menghadirkan hati dalam sebuah profesi. Adenita berkata, "Hati yang penuh cinta akan mendorong siapa pun untuk melakukan yang terbaik dalam bidang pekerjaannya. Sesuatu yang dilakukan dengan hati akan selalu menghasilkan energi yang tidak pernah mati. Profesi dibungkus cinta, lahirlah mahakarya." Saya semakin yakin akan pilihan hidup saya.

Semua kisah itu ia tuangkan dalam sebuah buku 2 in 1 berjudul 23 Episentrum. Buku yang terdiri dari novel dan suplemen. Novel adalah kisah fiksi. Sementara suplemen adalah kisah nyata. Lengkap sudah. Setelah terbawa melayang-layang dalam imajinasi novel, suplemen membawa kita kembali berpijak pada tanah. Adenita membuktikan bahwa orang-orang yang menjalani profesi atas pilihan hati yang sebenarnya tidak sesuai dengan latar belakangnya, benar-benar ada dan nyata.

Novel 23 Episentrum bercerita tentang perjalanan 3 anak muda, Matari, Awan, dan Prama untuk mengejar profesi yang dicintainya. Profesi yang tidak hanya memberikan keuntungan materi namun juga kebahagiaan hati. Mereka selalu yakin akan kekuatan mimpi. Mereka yakin bahwa kebahagiaan bukanlah terletak pada banyaknya harta kekayaan, melainkan pada kepuasan hati.

Matari adalah seorang wanita yang bermimpi menjadi news anchor atau pembawa berita di sebuah stasiun televisi. Demi mengejar mimpinya ia nekat kuliah. Walaupun untuk membiayai kuliahnya itu harus utang sana utang sini. Totalnya sangat besar, dan semua itu harus ia bayar setelah lulus kuliah. Maka kehidupannya setelah kuliah adalah bekerja, dengan satu tujuan: melunasi utang. Ia pun masuk ke kondisi dilematis antara mengejar mimpinya menjadi news anchor atau mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar, agar tidak terus menerus dibayangi hutang.

Awan, pria jago matematika yang bekerja sebagai pegawai bank. Namun ternyata Awan tidak merasa bahagia. Walaupun uang cukup ia merasa bankir bukan jalan hidupnya. Akhirnya ia memilih berhenti dan mengejar mimpinya menjadi tukang cerita. Membuat cerita skenario untuk sebuah film.

Ada 3 kata untuk mengungkapkan seorang Prama: kaya, baik, dan ganteng. Ia bekerja di perusahaan minyak internasional. Bolak-balik ke berbagai negara untuk mengerjakan proyek-proyek besar. Namun dalam limpahan harta yang dimilikinya, hatinya merasa sepi. Akhirnya ia melakukan perjalanan hati. Dari situ ia belajar banyak hal. Prama merasa kini hari-harinya lebih bermakna.

23 Episentrum adalah buku yang mampu menumbuhkan keyakinan bahwa mimpi harus selalu diperjuangkan. Betapa pun besarnya penolakan dari keluarga, lingkungan, bahkan keraguan pribadi, mimpi harus terus hidup dan dihidupkan. Passion harus ditemukan. Karena passion lah seseorang tahu harus melangkah ke mana. Passion yang menuntun seseorang untuk menghadirkan hati dalam tiap pekerjaannya. Karena sesungguhnya kebahagiaan terletak bukan pada materi melainkan hati.

#Selamat membaca.. :D