Senin, 05 Desember 2011

Refleksi Lampu Merah


Kita boleh berbangga hati. Karena saat ini Indonesia masih menduduki peringkat 1 se-Asia Pasifik. Posisi yang pastinya sangat prestisius. Sayangnya kategorinya bukanlah dalam bidang kesejahteraan ataupun kesehatan. Melainkan dalam bidang korupsi. Kebiasaan dan kegemaran berkorupsi ria di masyarakat kita memang sudah menggurita. Bukan lagi pejabat yang bisa dengan mudah menjalankan hobi korupsinya, tapi masyarakat jalanan seperti kita pun bisa melakukannya. Kesenangan berbagi hobi tampaknya sudah mulai menjalar ke tiap lapisan masyarakat.

Disadari ataupun tidak, hobi korupsi masyarakat jalanan seperti kita ini sebenarnya sangat simpel dan sederhana. Setiap Anda pasti pernah berhenti di lampu merah bukan? Lihat saja bagaimana perilaku masyarakat kita di sana. Walaupun lampu merah masih dengan gagah mengatakan STOP, masyarakat kita malah senang melanggarnya. Coba Anda hitung berapa banyak pengendara yang dengan nekat menyerobot lampu merah. Padahal di setiap lampu merah ada garis batas berwarna putih yang menjadi tanda di mana seharusnya pengendara berhenti. Aturan sebenarnya adalah setiap kendaraan wajib berhenti di belakang garis putih. Sayangnya kepatuhan itu hanya mungkin terjadi saat ada bapak-bapak polisi. Logikanya kalau tidak ada yang menjaga buat apa patuh? Bukankah peraturan itu dibuat untuk dilanggar?

Perilaku pengendara di lampu merah pun sebenarnya adalah salah satu bagian dari yang namanya korupsi. Memang bukan uang yang dikorup, melainkan waktu dan jarak. Pengendara-pengendara yang nyerobot walaupun lampu masih merah berarti korupsi waktu. Pengendara-pengendara yang berhenti melewati batas putih artinya korupsi jarak. Jadi sebenarnya korupsi itu tidak melulu berkaitan dengan uang. Kadang apa yang tidak pernah kita anggap sebagai tindakan korupsi bisa jadi merupakan tindakan korupsi.

Malah bisa jadi kebiasaan kita di lampu merahlah yang menyebabkan hobi korupsi semakin menggurita. Awalnya korupsi waktu, korupsi jarak. Lama-lama kita mungkin akan korupsi uang negara. Karena masalah dasarnya bukanlah terletak pada apa yang kita korupsikan tapi lebih kepada kegemaran kita berkorupsi. Kalau hobi ini terus berlanjut, apa kabarnya Indonesia masa depan?

Memerangi korupsi memang butuh perjuangan. Ibarat menguraikan benang kusut, kita pun akan bingung dari mana harus memulai. Tapi janganlah jadikan diri kita sebagai pengkritik handal, namun lupa pada perannya sebagai individu. Memerangi korupsi bisa kita mulai dari diri kita sendiri. Minimal di lampu merah.

Sekolah Anak Jalanan

  

Siang itu aku dan beberapa temanku dari BEM UNJ berkunjung ke Sekolah Anak Jalanan. Sekolah yang akrab disebut SAJA ini terletak di daerah Penjaringan Jakarta Utara. Kami berangkat dari kampus sekitar jam 10.30. Dengan berbekal sebuah peta kami susuri jalan. Akhirnya sampailah kami di SAJA setelah bertanya kepada beberapa orang warga.

Jangan bayangkan sebuah gedung sekolah yang luas dengan beberapa lantai dan halaman-halamannya. Sekolah ini sangat sederhana. Terdapat dua ruangan dan sebuah taman tanpa pohon di depannya. Namun dari kesederhanaan itulah justru sekolah ini tampak begitu anggun.

Kulihat beberapa kru sebuah stasiun TV sedang melakukan peliputan. Setelah itu kami disambut oleh seorang wanita berjilbab yang mempersilahkan kami masuk. Di dalam ada lagi seorang wanita dan seorang laki-laki dengan beberapa anak sedang melakukan aktivitas-aktivitasnya. Kami kemudian berbincang dengan Pak Reinhart, Kepala Sekolah SAJA.

Ada beberapa hal yang membuatku kaget. Kekagetan pertama karena yang menyambut kami adalah wanita berjilbab. Kami menyangka bahwa sekolah ini dikelola oleh non muslim. Karena setahu kami kepala sekolah SAJA bernama Reinhart, nama yang jauh dari kesan seorang muslim. Kekagetan kedua karena ternyata Pak Reinhart adalah seorang mualaf.

Kisah hidup Pak Reinhart sungguh membuat kami terkesima. Beliau bercerita bahwa dulu beliau berasal dari keluarga kaya non muslim. Sejak SMP sudah membawa motor, SMA sudah membawa mobil, kemudian kuliah manjemen di Universitas Pancasila yang waktu itu biaya semesternya mencapai 5 juta rupiah. Beliau kemudian memutuskan untuk masuk Islam namun mendapat tentangan yang keras dari keluarga-keluarganya. Keluarganya memberi pilihan apakah memeluk Islam namun keluar dari rumah atau tetap di rumah dan setia terhadap agama keluarganya. Bahkan saat itu Pak Reinhart sedang menyusun skripsi. Pilihan yang tentunya sangat berat. Namun keyakinan beliau untuk Islam tak membuatnya takut akan rintangan. Beliau memutuskan untuk tetap memilih Islam.

Kehidupannya setelah itu sungguh berbalik 180 derajat. Dari hidup kaya menjadi hidup terlunta-lunta di jalanan. Beliau menumpang di rumah atau kosan teman-temannya, berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Sering pula menginap di masjid bahkan terminal. Keperluannya menyelesaikan skripsi dan membayar biaya kuliah menuntut ia bekerja apa saja. Pernah ia bekerja sebagai kondektur bus sampai supir pribadi.

Di masa sulitnya itulah beliau menemukan makna kehidupan. Ternyata menjadi kaum marginal sungguh sangat memprihatinkan. Sangat sedikit orang yang mau memberikan perhatian apalagi bantuan. Ia jalani hidupnya sampai pada tahun 1998 dinyatakan lulus dan menyabet gelar sarjana ekonomi.

Setelah bekerja di beberapa lembaga sosial, pada tahun 2001 beliau mendirikan sebuah rumah singgah di daerah penjaringan. Warga di deerah tersebut tinggal di kolong jalan tol dengan pekerjaan yang tidak menentu. Awalnya memang sangat berat. Kecaman dan ancaman dari warga sekitar turut menyertai perjuangan beliau. Bahkan beliau pernah dikejar-kejar warga dengan golok. Rumah singgah yang didirikannya pun hampir tidak pernah awet. Selalu saja ada yang hilang dan rusak. Bahkan tuduhan kristenisasi pun menyebar.

Sekarang 10 tahun sudah sekolah ini berdiri. Keadaannya sudah jauh membaik. Anak-anak TK sampai kelas 6 SD yang ditampung sudah mencapai ratusan. Anak-anak itupun sekarang sudah tidak lagi turun ke jalan. Selain di SAJA mereka juga tetap bersekolah di sekolah formal. Orangtua anak-anak itu pun sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka tidak lagi menyuruh anak-anaknya mengemis di jalan. Mereka tidak lagi ribut ketika terjadi penggusuran. Mereka sudah memahami bahwa tanah yang ditinggalinya bukanlah miliknya.

Sungguh perbincangan yang sangat menyentuh dan bermakna. Masih banyak cerita-cerita beliau yang sangat menarik untuk diketahui. Masih banyak perjuangan-perjuangan beliau yang sangat baik untuk dijadikan pelajaran. Sekolah ini telah memberi arti kepada kami bahwa hidup adalah untuk berbagi.


Tak terasa sudah satu jam kami berbincang. Akhirnya kami pun meminta izin untuk pamit. Satu jam yang sangat berarti karena di sana kami menemukan sebuah makna, bahwa hidup adalah untuk berbagi.

Hardiknas Ala Indonesia



Kelakuan kita sebagai bangsa memang cocok dengan kekayaan budaya kita. Berbeda-beda dan beragam tapi tetap satu jua.Begitu juga dengan peringatan hari pendidikan nasional, masing-masing kelompok memperingatinya dengan cara yang berbeda. Dari rakyat jelata sampai rakyat bangsawan punya gayanya sendiri dalam mengekspresikannya.

Marilah kita lihat gaya nomer 1. Begitu hardiknas tiba, kelompok ini malah merasa harinya sama seperti hari-hari biasanya. Cobalah anda tanya kepada mereka, jangan-jangan mereka bahkan tidak tahu apa dan kapan itu hardiknas. Tetapi jangan karena sikapnya yang terkesan cuek itu lantas kita merasa perlu memandang sinis kearahnya. Mungkin saja meraka yang tidak tahu itu memang karena tidak pernah diberi tahu. Mungkin saja selama ini gurunya tidak pernah mengajarkan tentang hakikat dan makna hardiknas bagi bangsa ini. Yah, maklumlah. Model pendidikan sekolah-sekolah kita memang lebih banyak kearah pengetahuan bukan penghayatan.

Yang satu ini kita sebut saja gaya nomer 2. Kalau sebelumnya mereka yang tidak tahu menganggap hardiknas biasa-biasa saja. Kelompok 2 ini sebenarnya sudah tahu apa dan kapan itu hardiknas. Tetapi sepertinya tidak ada kegiatan spesial yang mereka lakukan pada hari spesial ini. Kita pun segera memberikan label pragmatis kepadanya. Padahal jika kita lihat lagi, mereka menjalankan hardiknas sama seperti hari-hari mereka sebelumnya. Yang pelajar tetap belajar. Yang bekerja tetap masuk kantor. Mereka pada dasarnya sedang berjuang terhadap hidup mereka sendiri dan juga hidup orang tua serta anak, istri mereka. Baginya hardiknas berarti belajar dan bekerja lebih giat lagi untuk menggapai masa depan gemilang.

Gaya nomer 3 saya letakkan untuk para mahasiswa. Yang rajin aksi turun ke jalan menuntuk keadilan. Mereka menyuarakan aspirasi-aspirasi masyarakat dan rakyat-rakyat tertindas yang selama ini mungkin kurang mendapat perhatian penguasa. Mahasiswa-mahasiswa ini berkumpul menjadi lautan warna, ada yang hijau, biru, kuning, semua membawa almamater kampus kebanggaannya. Apakah dengan begitu mereka pantas merasa paling peduli dengan hardiknas? Saya rasa tidak.

Yang terakhir ini kita namakan gaya nomer 4. Yang satu ini memang lebih senang bekerja daripada berbicara. Jargonnya bahkan dipungut dari salah satu iklan di TV, "talk less, do more". Mereka lebih suka membangun sekolah untuk anak jalanan, melakukan bakti sosial, dan langkah-langkah nyata lainnya. Kebanyakan mereka bahkan memandang sinis terhadap aksi turun ke jalan. Baginya menuntut hanyalah langkah percuma yang pantas ditinggalkan.

Sudah saya paparkan gaya-gaya peringatan hardiknas. Anda mungkin masuk ke dalam salah satu dari gaya di atas. Di sini bukan niat saya untuk mengkotak-kotakkan cara kita memperingati hardiknas. Saya sudah katakan sebelumnya, kita memang berbeda tapi tetap satu jua. Semua gaya itu intinya juga demi kecintaan kita sebagai pribadi, keluarga, bahkan negara. Jadi tidak ada gaya yang paling top dan gaya yang paling down. Semua hendaknya kita lihat dalam satu bingkai. Kita sedang berjuang di Indonesia.

Ada Bocah di Gramedia


Siang itu hari Sabtu. Biasanya aku pulang pagi-pagi menuju rumahku di Tangerang. Maklum setelah seminggu tinggal di kostan dan berkutat dengan tugas-tugas kuliah dan organisasi, rasanya rumah menjadi obat pelepas penat. Tapi hari itu berbeda. Hujan lebat mengguyur Jakarta. Aku pun urung berangkat malah diam di kamar sambil baca-baca buku. Pikirku sebentar lagi hujan akan reda dan aku bisa pulang.

Waktu yang dinanti-nanti pun tiba, langit cerah. Aku bersiap dan segera berangkat. Anehnya otakku menolak untuk langsung menuju rumah. Otakku mengajakku ke gramedia. Entah apa maunya tapi akhirnya kuturuti keinginannya. Betapa bodohnya aku. Impianku melepas penat sirna sudah.

Di gramedia yang ada 4 lantai ini aku langsung menuju lantai 2. Lantai favoritku. Favorit karena di sini tempatnya buku-buku umum. Mataku dengan sigap menelusuri tumpukan-tumpukan itu. Tapi ternyata ada yang lain yang menarik perhatianku. Bukan buku tapi bocah. Sekumpulan bocah ada di gramedia.

Tidak cerdas jika aku bertanya dalam hati apa yang sedang mereka lakukan di sini. Aku tahu pasti mereka ingin membaca buku. Tapi yang aku mau tahu mengapa mereka mau datang ke gramedia ini dan membaca buku. Aku melirik mereka dengan sinis. Tapi sinisku rasanya bukan karena mereka di gramedia dan membaca buku. Sinisku rasanya karena keirianku pada mereka. Yah, waktu kecil dulu aku tidak pernah ke gramedia.

Tapi dari rasa sinis dan iriku itu aku bangga melihat bocah-bocah itu. Masih kecil sudah gemar membaca. Kelak dewasanya mereka akan menjadi manusia yang cerdas berwawasan luas. Aku berharap ada banyak lagi bocah-bocah Indonesia di gramedia. Ada banyak lagi bocah-bocah Indonesia yang gemar membaca. Karena aku berharap, bocah-bocah itu yang akan membangun Indonesia menjadi negara yang cerdas dan berpengetahuan luas.

Ambulan di Tengah Kemacetan


Di sore yang terik itu, aku sedang dalam perjalanan pulang dari kampus menuju rumah. Kudengar suara sirine yang sebenarnya cukup mengganggu telingaku. Tetapi ketika aku menyadari bahwa penyebab kebisingan ini adalah sebuah mobil ambulan, entah mengapa tiba-tiba hatiku merasa ada kesedihan yang menjalar sampai ke otakku.

Seperti hari-hari biasanya, jalan raya ibukota ketika sore hampir bisa dipastikan padat merayap, macet. Mobil, motor, semua bergegas menuju rumah dan tujuan masing-masing. Ambulan itu hanyalah satu diantara ribuan kendaraan di jalan. Dan pastinya, ambulan itupun terjebak dalam kemacetan.

Aku tidak tahu siapa yang ada di bagian belakang mobil ambulan itu. Akupun tidak tahu bagaimana kondisinya. Mungkin ia sedang sakit parah dan butuh pertolongan dokter sesegera mungkin. Atau ia jenazah yang akan dibawa ke rumah duka. Dan kemungkinan yang paling aku takutkan, bagaimana jika orang di belakang mobil ambulan itu memang telah meninggal, dikarenakan terlalu lama terjebak dalam kemacetan ibukota?

Secara teori, ketika pengguna jalan mendengar bunyi sirine ambulan atau mobil patroli, semestinya semua menepi ke jalur kiri sehingga memberi jalan kepada mobil bersirine untuk lewat di jalur kanan. Akan tetapi hal semacam itu sangat sulit dilakukan karena semua jalur disesaki motor, mobil, bus, dan lainnya.

Kemudian aku berpikir, siapakah yang akan menanggung dosa bila orang itu meninggal dalam perjalanan di tengah kemacetan? Apakah Allah membebankan semua itu kepada para pengguna jalan karena tidak berusaha tertib dan menepi ke kiri? Atau para pejabat dan pengambil kebijakan yang akan dituntut karena tidak mampu mengatasi kemacetan lalu lintas ibukota? Ataukah aku sendiri yang akan menanggung dosa ini karena tidak melakukan apapun terhadap semua kekacauan ini?

Ya Allah ampunilah dosa kami ya Allah..

Puisi : ''Kapan Sekolah Kami Lebih Baik Dari Kandang Ayam''


Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah
Tanpa sebuah kemunafikan, semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan
Tetapi dunianya ternyata tuli
Setuli batu
Tidak berhati
Otonominya, kompetensinya, profesinya hanya sepuhan pembungkus rasa getir

Bolehkan kami bertanya
Apakah artinya bertugas mulia ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa?

Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?

Ketika semua orang menangis, kenapa kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan, kami harus tetap kelaparan?

Bolehkah kami bermimpi di dengar ketika berbicara?
Dihargai layaknya manusia?
Tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap dalam kondisi terburuk.

Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah
Terbaca torehan darah kering

Di sini berbaring seorang guru
Semampu membaca buku usang
Sambil belajar menahan lapar
Hidup sebulan dengan gaji sehari

Itulah nisan tua sejuta guru tua yang terlupakan oleh sejarah


Itulah puisi Prof Dr Winarno Surakhmad, pakar pendidikan dan mantan Rektor IKIP Jakarta, yang disambut dengan kegusaran oleh Wapres Jusuf Kalla.

Ketika itu, pada peringatan Hari Guru Nasional di Solo Jawa Tengah, 27 Nov 2005, pria yang kini sudah berusia 80 tahun itu membacakan puisinya. Di akhir tiap baitnya, belasan ribu guru merespon dengan tepuk tangan dan linangan air mata. Akan tetapi Jusuf Kalla malah berang dan tidak menerima puisi tersebut.

Memang realitas tidak berpihak pada suara hati para guru. Guru-guru yang mengabdi di daerah pedalaman hanya bisa berteriak dalam hati. Guru-guru honorer mungkin hanya bisa meratapi nasibnya yang malang. Jika dengan puisi saja kami tidak didengar, apakah semua guru harus demo turun ke jalan hanya untuk menuntut kesejahteraan? Apakah kami harus meninggalkan anak-anak kami di sekolah, hanya untuk meminta keadilan? Kami tidak minta gaji seperti anggota DPR, kami hanya minta bisa menyekolahkan anak dan bisa membeli buku. Apa itu salah?

Bukankah seharusnya para birokrat mendengar jeritan kami. Kami memang ikhlas mengajar dan mendidik, tapi bukan berarti kami tidak berhak merasakan hidup nyaman.

Begitulah, nasib pendidikan kita, nasib guru dan sekolah kita. Padahal di pundak para gurulah cita-cita kemajuan bangsa dibebankan. Padahal hanya dengan pendidikanlah kita bisa membangun bangsa. Jika ini yang terjadi, angan untuk mengangkat derajat bangsa di mata dunia hanyalah akan menjadi fatamorgana..

Pengaruh Media Televisi terhadap Moral Bangsa





Kita terhentak dan kaget, melihat kenyataan pahit yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Dunia hukum ditunggangi penguasa dan disesaki mafia-mafia peradilan. Ironis memang, melihat para manusia berperilaku bejat itu justru adalah orang-orang berdasi dengan setumpuk pangkat di seragamnya. Kalau penegak hukum tidak lagi berjalan sesuai hukum, lantas siapa yang harus kita percaya dalam melaksanakan misi mulia, penegakkan hukum di Indonesia?

Hampir setiap hari pula, kita dipertontonkan berita-berita kriminal yang semakin hari semakin menjadi. Mulai dari kasus pencopetan, pemerkosaan, pembunuhan, hingga kasus mutilasi yang sebenarnya menurut pandangan saya tidak pantas disajikan di muka umum.

Belum lagi tindakan-tindakan kekerasan yang sudah memasuki dunia generasi muda kita. Dengan dalih demokrasi, kaum muda intelektual melancarkan aksi-aksi brutal dan anarkisnya. Bukan bermaksud menolak gerakan aksi mahasiswa, akan tetapi apalah artinya alasan membela rakyat tetapi malah menyengsarakan rakyat dan menghancurkan image "generasi penerus bangsa."

Kondisi yang sudah sedemikian parah ini hendaknya menjadi perhatian kita bersama. Pantas dipertanyakan, apa yang salah dengan bangsa Indonesia? Apa penyebab terjadinya kelunturan dan krisis moral bangsa kita? Dari manakah kita bisa mulai memperbaiki semua kekacauan ini?

Tidak dapat dipungkiri, televisi saat ini telah menjadi sarana hiburan yang sangat digemari masyarakat dari semua kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga para orangtua. Masalahnya, program-program yang ditayangkan tidak lebih dari sekedar sampah belaka yang sebagian besar mengajarkan pola hidup konsumtif, murahan, dan tak mendidik. Acara-acara seperti gosip selebritis yang sama sekali tidak ada manfaatnya, kecuali untuk kesenangan membicarakan aib orang lain ataupun sinetron-sinetron yang di dalamnya banyak ditemukan adegan-adegan kekerasan dan perilaku amoral serta asusila. Atau juga berita-berita kriminal yang menampilkan kebiadaban dan hilangnya rasa kemanusiaan serta hati nurani.

Sebuah survei dilakukan oleh Christian Science Monitor tahun 1996 terhadap 1.209 orangtua yang memiliki anak umur 2-17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV memengaruhi anak, 56% responden menjawab amat memengaruhi. Sisanya, 26% memengaruhi, 5% cukup memengaruhi, dan 11% tidak memengaruhi.

Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survei itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan diantara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian Centerwall dari 1975-1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan diantara kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945-1974, tingkat pembunuhan justru menurun.

Fakta-fakta di atas menyadarkan kita bahwa begitu besar sumbangan televisi dalam upaya penghancuran moral bangsa. Tindakan kriminal, kekerasan, korupsi, tak bertanggung jawab, tidak peduli, dan gaya hidup bebas yang menyerang bangsa Indonesia saat ini adalah sedikit dari daftar panjang permasalahan yang disebabkan oleh media televisi.

Oleh karena itu, bijaklah dalam menonton televisi. Pilihlah acara-acara TV yang mendidik dan bermanfaat bagi kemajuan pribadi dan bangsa..

Ke Mana Perahu Itu Berlayar?


Hembusan angin kencang menerpa layarnya. Gulungan ombak menghantam hingga terombang-ambing dalam samudera yang luas tak bertepi. Badai itu telah sedemikian hebatnya mengacaukan laju sang perahu, hingga alat navigasi yang sejatinya telah reot dimakan usiapun tak mampu lagi menunjukkan arah yang seharusnya. Perahu itupun melaju entah ke mana, tanpa arah, tanpa tujuan. Mengikuti kemauan angin yang meniupnya, menghendaki amukan ombak yang mendorongnya. Jauh melenceng dari rencana awal keberangkatan. Lantas, ke mana perahu itu berlayar?

Jika kita menilik realitas pendidikan Indonesia saat ini, sekiranya tidaklah terlalu berbeda bila diibaratkan dengan perahu tersebut. Ya, perahu itu adalah perahu pendidikan. Rupanya pendidikan bangsa ini telah kehilangan arah. Pendidikan saat ini sudah lupa akan tujuan awal yang dicita-citakan. Sebuah kenyataan pahit yang tentunya cukup membuat hati ini menjerit dan batin ini berontak.

Sejarah telah banyak mengajarkan kepada kita bagaimana cita-cita para founding fathers negeri ini. Bapak pendidikan Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara) sangat menjunjung tinggi nilai kesatuan dan kesamarataan melalui Taman Siswa yang didirikannya tanpa membedakan status sosial seseorang. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hegel berabad-abad yang lalu, “Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah,” betapa bangsa ini sudah seperti melupakan nasihat-nasihat dan cita-cita para pembesar negeri.

Fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tapi kenyataannya, fungsi mulia tersebut belum bisa terealisasi dengan baik. Pendidikan bukanlah lagi untuk pembentukan akhlak mulia dan karakter bermartabat melainkan hanyalah pentransferan ilmu yang banyaknya segudang untuk benar-benar sekedar diajarkan, bukan untuk sama-sama dilakukan apalagi sampai direnungkan. Terbukti, pendidikan selama ini tidak mampu menghasilkan orang-orang terdidik yang jujur, berpikir sehat, bertutur sopan mulai dari rakyat sampai elite politik yang berkuasa. Hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan bahwa bangsa ini telah (pernah) dibesarkan oleh pendidikan di masa lalu.

Sesungguhnya kita tidak pernah tahu apa yang dalam beberapa dekade terakhir ini dapat kita harapkan dari sekolah dan universitas kecuali uang gedung yang mahal, gaji guru yang tidak manusiawi, makelar-makelar yang menjajakan gelar, dan ilusi-ilusi “sekolah unggul” atau “sekolah masa depan.” Kita tidak pernah tahu mengapa sekolah dan universitas tidak pernah membuat orang menjadi terbuka pikirannya, apalagi yang peka nuraninya.

Jadi, apakah ruginya negeri ini bila semua sekolah dan universitas, sebagaimana kita kenal selama ini, dibubarkan saja? Tidakkah itu justru mungkin dapat menggugah kesadaran bahwa pendidikan dan pembelajaran seharusnya berada tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di dalam masyarakat.

Jika kondisi ini dibiarkan terus terjadi, sungguh tak bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini lima puluh tahun ke depan.

Hentikan Kebijakan Ujian Nasional Sebagai Syarat Kelulusan, Jangan Biarkan Korban Terus Berjatuhan

“Bayangkan! Jika ada siswa yang memiliki nilai Bahasa Indonesia 9, Matematika 10, sementara nilai Bahasa Inggrisnya di bawah standar kelulusan, berarti siswa itu tidak lulus bukan? Haruskah ia mengulang belajar selama setahun lagi dengan materi-materi yang membosankan? Dengan suasana yang menjenuhkan? Bukankah lebih baik ia mempertajam kemampuannya daripada harus mengulang lagi hanya untuk mencari nilai Bahasa Inggris?” (Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah : Korban UN)

Pada tanggal 25 November 2009 kemarin, bertepatan dengan hari guru, Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah tentang UN. Putusan ini semakin memperkuat bahwa kebijakan UN memang bermasalah dan harus dievaluasi.

Sayangnya hingga hari ini, MA belum mengeluarkan salinan keputusannya. Sehingga banyak pihak hanya bisa memprediksi dan malah menimbulkan multi tafsir. Akan tetapi kita bisa mengacu pada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, yaitu:

1. Menyatakan bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak;

2. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;

3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;

4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.

Hingga saat ini pemerintah tetap bersikukuh mempertahankan penyelenggaraan ujian nasional. Padahal, jika merujuk pada pertimbangan majelis hakim, penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun telah melanggar hak asasi manusia terutama pelanggaran hak atas pendidikan dan menghambat perkembangan psikologi anak.

Pelanggaran hak yang dimaksud adalah karena belum terpenuhinya hak anak terhadap sarana dan prasarana sekolah yang memadai, kualitas guru yang baik, dan akses informasi yang lengkap.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan, dari 4.437 ruang kelas yang ada di Serang, Banten, hanya 2.270 ruang kelas yang kondisinya baik dan layak untuk kegiatan belajar-mengajar, sedangkan sisanya sebanyak 953 ruangan dalam keadaan rusak berat dan 1.124 rusak ringan.

Data Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas ketika melakukan kajian di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat tahun 2008, sebanyak 2.600 guru telah ikut sertifikasi dan 2600 belum mengikuti sertifikasi. Sedangkan guru yang telah lolos sertifikasi tidak menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan. Motivasi guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial.

Data di salah satu provinsi mengenai akses informasi, hanya terdapat 4.292 guru SD untuk 71.057 siswa, 71 guru SMP untuk 16.705 siswa, 470 guru SMA umum untuk 6.974, dan hanya 5 guru SMK untuk 2.470 siswa.

Kini saatnya mahasiswa sebagai pejuang rakyat menuntut kebijakan UN yang merugikan. Jangan sampai korban-korban kebijakan terus bertambah dan akhirnya anak-anak bangsalah yang harus menanggungnya.

UJIAN NASIONAL: Sebuah Tragedi Pendidikan

Ketika pro dan kontra merebak dengan kecenderungan menolak ujian nasional, pemerintah tetap ngotot melaksanakannya. Suara-suara penolakan dari pelajar, mahasiswa, pendidik, pakar pendidikan, bahkan keputusan hukum Mahkamah Agung pun tidak mampu menghentikan Ujian Nasional yang menyesatkan itu. Logika pendidikan tidak lagi berlaku, logika politiklah yang berkuasa. Pada titik ini, arogansi pemerintah sudah mencapai batasnya. Suara-suara aktivis yang merindukan perbaikan di negeri ini telah dikubur dalam-dalam. Sungguh kenyataan yang sangat tragis!

Ujian nasional yang diharapkan mampu meningkatan mutu pendidikan hanya akan menjadi sebuah ilusi. Pasalnya, kondisi sekolah di Indonesia baik itu sarana prasarana, kualitas guru, dan akses informasi masih jauh dari standar. Apakah adil menguji siswa di Jakarta dengan siswa di pedalaman Papua yang memiliki fasilitas berbeda tetapi dengan bobot soal yang sama dan juga patokan kelulusan yang sama? Tidak heran jika jumlah siswa yang tidak lulus sangat mengejutkan. Belum lagi jika dilihat dari perspektif kemiskinan, faktor kecukupan gizi, dan keadaan lingkungan. Untuk menyiasatinya, dibentuklah “Tim Sukses” di berbagai sekolah. Sehingga apabila dicermati, kecurangan dalam UN bukanlah kecurangan yang sifatnya kasuistik melainkan sudah bermetamorfosa menjadi kecurangan yang tersistematis. Jika ini sudah terjadi, semua pihak kemudian sibuk mencari siapa yang pantas dijadikan kambing hitam. Siswa, guru, dan orangtua yang hanya berperan sebagai wayang dalam skenario ini tiba-tiba menjadi tertuduh.

Fungsi UN sebagai pemetaan mutu pendidikan dan sebagai dasar pembinaan serta pemberian bantuan (PP No. 19 tahun 2005 pasal 68) tidak dijalankan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang kelulusannya ataupun nilainya memprihatinkan? Tidak ada. Selama ini pemerintah cenderung hanya menuntut hasil kelulusan yang baik. Pembahasan-pembahasan di Depdiknas dan BSNP malah berkutat pada hal-hal teknis masalah bagaimana pendistribusian soal yang baik, bagaimana pengawasan yang ketat, dan berapa patokan nilai UN tahun depan.

Prof.Dr. Soedijarto, M.A. (pakar pendidikan dan guru besar UNJ) menilai bahwa UN model ini tidak akan mampu meningkatkan mutu pendidikan dan juga etos kerja. Lebih jauh, UN telah mengaburkan makna pendidikan menjadi sebatas persiapan lulus ujian. UN yang hanya berisi soal-soal pilihan ganda dengan penekanan pada kemampuan hafalan siswa tidak akan banyak membantu meningkatkan mutu, malah akan merusak proses pendidikan yang hakiki.

Oleh karena itu menurutnya, Amerika Serikat dan Jerman tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
  1. Menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik;
  2. Menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
  3. Menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar;
  4. Evaluai yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Senada dengan Prof. Soedijarto, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung patut diacungi jempol. Salah satu pointnya memerintahkan bahwa pemerintah harus meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut. Memang tidak ada perintah untuk menghentikan UN sesuai dengan tafsiran Mendiknas Muh Nuh. Akan tetapi kata “sebelum” mampu kita pahami secara jelas maknanya tanpa memerlukan analisa bahasa tingkat tinggi.

Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep yang salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak bangsa akan terbunuh sebelum mati. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratrofi oleh UN. Kalau ini bukan tragedi pendidikan, lalu apa?

Hasil Diskusi RUU PT dengan Komisi X DPR

Selasa, 28 Juni 2011
Ruang Rapim Fraksi Komisi X DPR

Maraknya perbincangan mengenai Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) tak terlepas dari kekhawatiran sebagian besar elemen mahasiswa terhadap munculnya wajah baru Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU BHP yang sarat dengan nilai-nilai liberalisme dan komersialisme akhirnya dinyatakan inkonstitusional pada 31 Maret 2010 setelah dilakukan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan putusan ini maka UU BHP dicabut dan tidak berlaku lagi.

Dengan dicabutnya UU BHP, bukan berarti semua permasalahan selesai. Terjadi kekosongan payung hukum yang mengatur tata kelola Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut memang diperlukan karena tanpanya Perguruan Tinggi akan kehilangan pegangan. Atas dasar itulah maka lahirlah RUU PT yang rencananya akan disahkan di penghujung tahun 2011.

Sekarang, RUU PT ini pun tak lepas dari kritikan. Beberapa pendapat yang muncul antara lain: RUU PT adalah UU BHP jilid 2, RUU PT akan membuat pendidikan semakin mahal, RUU PT akan mengkerdilkan gerakan mahasiswa sehingga terjadi NKK/BKK jilid 2, serta RUU PT hanya mengatur tata kelola tetapi melupakan kualitas perguruan tinggi.

Dalam forum diskusi hadir perwakilan dari BEM ITB, UNPAD, UNJ, dan FL2MI. Berikut ini akan diuraikan permasalahan-permasalahan yang mengemuka dalam diskusi beserta pembahasannya.


Masalah Pendanaan

RUU PT mengatur besarnya biaya yang harus dibayar mahasiswa untuk kegiatan perkuliahan. Pada Bab Pendanaan Pasal 88 ayat (3) menyebutkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional Perguruan Tinggi.

Perlu diketahui bahwa biaya perguruan tinggi terdiri dari:
a. biaya investasi
b. biaya operasional
c. beasiswa
d. bantuan biaya pendidikan

Perhitungan 1/3 ini dihitung secara agregat dari total biya operasional dan jumlah mahasiswa. Misalkan biaya operasional suatu kampus adalah Rp 3 milyar dengan jumlah mahasiswa 1000 orang. Maka tiap mahasiswa paling banyak membayar Rp 1 juta. Sistem agregat tentu memiliki kelemahan karena biaya mahasiswa mungkin saja berbeda antara yang mampu dan yang miskin. Oleh karena itu diusulkan perhitungan secara maksimum biaya per individu. Artinya semua mahasiswa baik itu kaya maupun miskin memiliki batas atas yang sama dalam biaya perkuliahan.

Permasalahan yang tidak muncul dalam diskusi dan belum terjawab adalah, apakah dengan porsi 1/3 itu cost yang dikeluarkan mahasiswa akan lebih murah dibandingkan saat ini atau justru malah semakin mahal? Untuk mengetahuinya tentu harus dicari dulu data riil per kampus. Berapa biaya operasional per semester dan berapa jumlah mahasiswa. Dari situ barulah kita bisa menyimpulkan dampak dari porsi 1/3 tersebut.


Hak Kuliah Bagi yang Kurang Mampu

Masih dalam Bab Pendanaan, pasal 88 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa PTN dan PTN Khusus wajib menerima dan mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh mahasiswa.

Permasalahannya adalah, bagaimana nasib mahasiswa yang memang kurang mampu tetapi memiliki potensi akademik yang biasa-biasa saja bahkan rendah? Padahal setiap mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi telah melewati serangkaian tes masuk. Hal ini berarti mereka sudah memiliki kualifikasi potensi akademik tinggi. Seharusnya bantuan biaya diberikan kepada paling sedikit 20% mahasiswa yang kurang mampu, tanpa membeda-bedakan status akademik.


Bantuan Dana dari Masyarakat

Pasal 83 ayat (2) berbunyi "PTN dapat memperoleh bantuan dana yang tidak mengikat dari masyarakat untuk biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan". RUU PT memang menyatakan bahwa perguruan tinggi dapat menerima bantuan dana dari masyarakat dan donatur.

Yang menjadi permasalahan adalah ke mana sebaiknya dana bantuan tersebut dialokasikan? Beberapa mahasiswa menilai sebaiknya dialokasikan ke biaya investasi, beasiswa, dan bantuan dana pendidikan, tanpa perlu dialokasikan ke biaya operasional. Pendapat lain menyatakan tidak mengapa biaya operasional dimasukkan ke dalamnya. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa hal tersebut merupakan wewenang perguruan tinggi dan tidak perlu dibatasi pengalokasiannya.


Masalah Keorganisasian

Ada indikasi RUU PT menyebabkan organisasi kampus akan berada di bawah kendali pemerintah. Hal ini tercermin pada Bab tentang Organ PT pasal 49 yang menyatakan

Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a beranggotakan:
  1. Menteri atau yang mewakili;
  2. Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
  3. Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
  4. Wakil dari Senat Akademik;
  5. Pemimpin perguruan tinggi;
  6. Gubernur;
  7. Wakil dari Sivitas Akademika; dan
  8. Wakil dari masyarakat.
Dari point-point diatas secara jelas dapat dilihat bahwa pemerintah memiliki 4 kursi sedangkan dari perguruan tinggi hanya 3 kursi dan masyarakat 1 kursi. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan terjadinya pengekangan kegiatan organisasi kampus oleh pemerintah. Karena yang dimaksud dengan Majelis Pemangku adalah organ yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum. Oleh karena itu diperlukan revisi untuk mengurangi power pemerintah yang terlalu besar.


Penurunan Kualitas Keilmuan

Sayangnya sebagian besar isi dari RUU PT adalah mengenai tata kelola dan peraturan-peraturan teknis. Sangat sedikit pasal yang berbicara mengenai mutu dan kurikulum. Terlebih lagi terdapat pasal yang menyatakan bahwa pemerintah mendirikan paling sedikit satu perguruan tinggi di setiap provinsi bahkan kabupaten/kota. Ini berarti jumlah perguruan tinggi akan semakin banyak. Tetapi mengedepankan kuantitas bukan kualitas justru malah akan memperburuk keadaan. Akan lebih baik jika pemerintah fokus memperbaiki kualitas perguruan tinggi yang sudah ada, setelah itu baru memperbanyak jumlahnya.Selain itu di dalam RUU PT hanya terdapat 2 pasal yang berbicara mengenai kurikulum. Padahal kurikulum memegang kunci perbaikan mutu lulusan.


Perguruan Tinggi Asing di Indonesia

RUU PT memberikan restu kepada PT asing yang telah terakreditasi untuk membuka program studi di Indonesia. Dengan adanya hal ini diharapkan terjadi persaingan sehat di antara perguruan tinggi untuk bersaing dan meningkatkan kualitasnya. Tentunya kurikulum dari PT asing tersebut akan diintegrasikan dengan kurikulum nasional. Pendapat yang mengemuka adalah seharusnya kita fokus dulu memperbaiki kualitas perguruan tinggi Indonesia. Tidak perlu berbicara mengenai persaingan global apalagi universitas kelas dunia.


Penutup

Diskusi yang berlangsung cukup singkat tersebut, yang dimulai pukul 09.00 sampai pukul 13.00 tentu saja dirasa belum optimal untuk mengeluarkan seluruh gagasan yang ingin disampaikan. Terdapat banyak sekali permasalahan yang belum sempat dibahas. Terdapat banyak sekali "unek-unek" yang belum sempat tersampaikan. Terlebih ada semacam "kondisi" yang diciptakan sehingga saya merasa bahwa kami tidak bebas untuk menyuarakan aspirasi. Salah satu catatan penting saya adalah tidak ada satu pun kata penolakan terhadap RUU PT ini. Padahal berdasarkan informasi yang saya dapat, BEM SI telah menyatakan menolak terhadap RUU ini. Yang terjadi hanyalah diskusi untuk merevisi pasal demi pasal. Karena sejak awal diskusi memang kami diarahkan untuk langsung masuk ke pasal per pasal dan memberikan masukan perbaikan redaksi.

Semoga apa yang saya rasakan hanyalah sebuah kekhawatiran yang berlebihan. Oleh karena itulah mari kita kaji secara mendalam RUU PT ini. Kita semua berharap kondisi pendidikan bangsa ini akan semakin maju. Dan perguruan tinggi khususnya dapat menjadi pilar kekuatan bangsa dalam mempercepat pembangunan.


HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!

Tinjauan Terhadap RUU Pendidikan Tinggi

Pada tahun 1994 Indonesia bergabung dengan World Trade Organization, sebuah lembaga perdagangan dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi “Agreement Establising the World Trade Organization”. Salah satu hasil kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam WTO adalah dijadikannya pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan. Pendidikan menjadi salah satu dari 12 sektor jasa yang diliberalisasi dalam GATS (General Agreement on Trade Services).

Sebagai anggota WTO tentu saja Indonesia memiliki keterikatan terhadap keputusan-keputusan yang disepakati. Oleh karena itu Indonesia wajib mematuhi WTO untuk membuka pasar bebas dalam pendidikan. Secara legal genderang liberalisasi pendidikan telah muncul pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Liberalisasi pendidikan makin nyata dengan dikeluarkannya Perpres No 77 tahun 2007 yang menyatakan bahwa sektor pendidikan dapat ditanami modal asing hingga 49%.

Pada tahun 2009 UU Badan Hukum Pendidikan disahkan. Pembuatan UU No 9 tahun 2009 tersebut berdasarkan atas amanat yang terdapat pada UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 53 untuk menjadikan lembaga pendidikan berbentuk Badan Hukum Pendidikan.

Pasal 53 UU Sisdiknas

  1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
  2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
  3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
  4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.


Sejak pembahasannya UU BHP sudah menuai kritik keras dan penolakan dari berbagai elemen. Sejumlah masyarakat yang menolak UU BHP kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan berakhir dengan putusan MK No 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU BHP inkonstitusional sehingga tidak berlaku lagi. Pasca pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010 maka terjadi kekosongan hukum terhadap kampus-kampus BHMN yang sedang disiapkan menuju BHP. Ada 7 kampus yang berstatus BHMN yaitu UI, UGM, ITB, IPB, UPI, UNAIR, dan USU.


Menuju World Class University

Kata-kata persaingan global saat ini menjelma sebagai zikir yang senantiasa diucapkan dan didengung-dengungkan. Cita-cita menjadikan pendidikan nasional mampu bersaing secara global sebenarnya merupakan cita-cita yang sangat mulia dan patut didukung. Namun tanpa melihat realitas pendidikan saat ini cita-cita mulia tersebut hanya akan menjadi duri dalam daging. Alih-alih memperbaiki kondisi pendidikan malah akan menggerus hakikat dan makna pendidikan yang sesungguhnya.

Peringkat perguruan tinggi Indonesia dalam kancah dunia yang jauh tertinggal dari negara-negara lain hendaknya tidak menjadikan pemerintah gelap mata dalam mengejar peringkat semata. Akan tetapi yang terpenting adalah kebermanfaatan institusi perguruan tinggi dalam memberdayakan potensi Indonesia sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Prof. H.A.R. Tilaar mengatakan bahwa kampus-kampus di Indonesia akan menjadi World Class University bukan ketika mampu bersaing dengan negara-negara lain. World Class University adalah jika kampus-kampus Indonesia mampu memecahkan permasalahan masyarakat dan mampu mengolah kekayaan alam dan kebudayaan nasionalnya.

Pandangan guru besar UNJ tersebut tentu saja sangat beralasan karena saat ini kebudayaan-kebudayaan nasional Indonesia banyak yang hilang dan tidak terpelihara bahkan diambil oleh negara lain. Sedangkan kekayaan alam Indonesia yang begitu luar biasa belum mampu dikelola sendiri. Sebutlah tambang emas terbesar dunia yaitu PT. Freeport belum mampu dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Jadi perguruan tinggi seharusnya disiapkan untuk membangun bangsa dari berbagai keterpurukan. Tidak sekedar mengejar peringkat dunia dan menyiapkan tenaga kerja.


Masuknya Perguruan Tinggi Asing ke Indonesia

RUU PT mengizinkan perguruan tinggi asing untuk membuka cabangnya di Indonesia. Syaratnya adalah perguruan tinggi tersebut telah terakreditasi di negaranya. Pertanyaannya apakah tujuan perguruan tinggi asing di Indonesia benar-benar untuk membantu Indonesia meningkatkan kualitas SDM-nya? Sungguh mulia jika tujuan itu dilaksanakan, namun yang terjadi di lapangan justru bertujuan untuk mencari keuntungan.

Sektor jasa pendidikan telah menjadi sumber pemasukan yang sangat menguntungkan bagi negara-negara penyedia jasa. Tiga negara yang paling mendapaatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada tahun 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut. Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.

Dapat dipastikan, Perguruan Tinggi asing di Indonesia tentu saja akan memasang tarif yang besar untuk biaya pendidikan. Akibatnya biaya pendidikan secara umum akan semakin mahal dan terciptanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Padahal pendidikan bukan sekedar masalah transfer pengetahuan akan tetapi juga berkepentingan dalam membangun karakter sebagai Indonesia dan menjaga budaya bangsa.


Menengok Anggaran dan Pendanaan Pendidikan Tinggi

Tahun 2011 ini alokasi APBN untuk pendidikan mencapai lebih dari 20% yaitu sebesar Rp 248,978 triliun. Sedangkan dari anggaran tersebut Pendidikan Tinggi mendapat alokasi Rp 28,8 triliun. Namun hanya Rp 5 triliun anggaran yang digunakan untuk pengembangan perguruan tinggi. Itupun harus dibagi untuk sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Perlu diingat bahwa 20% anggaran pendidikan termasuk gaji guru di dalamnya.

Minimnya anggaran tentu saja menjadikan perguruan tinggi di Indonesia sulit untuk berkembang. Terlebih dengan rumitnya urusan pengelolaan anggaran karena harus melalui pemerintah. Oleh karena itu pemberian otonomi merupakan salah satu upaya yang dilakukan agar perguruan tinggi mampu secara mandiri mencari dan mengelola dana. Kampus-kampus BHMN memang merasakan kebebasan dalam mengelola keuangan universitas. Jika sebelumnya proses pencairan dana terbelit masalah birokrasi kini menjadi lebih leluasa. Namun sayangnya otonomi dijadikan alasan untuk menaikkan uang kuliah mahasiswa dan membuka jalur-jalur penerimaan mandiri yang mengeruk dana besar dari mahasiswa.

Di dalam Bab Pendanaan RUU PT disebutkan bahwa dana berupa sumbangan pendidikan dapat diperoleh Perguruan Tinggi dari mahasiswa, orangtua mahasiswa, dan donator. Ketentuan ini terasa janggal karena mahasiswa masih terikat dengan orangtua yang berarti biaya kuliah mahasiswa masih ditanggung orangtuanya masing-masing. Sehingga ketentuan tersebut berarti biaya kuliah dibebankan secara ganda kepada orangtua mahasiswa.


Majelis Pemangku

Jika di BHMN terdapat Majelis Wali Amanat maka di RUU PT terdapat Majelis Pemangku. Anggota Majelis Pemangku terdiri dari:

  1. Menteri atau yang mewakili;
  2. Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
  3. Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
  4. Wakil dari Senat Akademik;
  5. Pemimpin perguruan tinggi;
  6. Gubernur;
  7. Wakil dari Sivitas Akademika; dan
  8. Wakil dari masyarakat.


Unsur-unsur tersebut diangkat dan diberhentikan oleh menteri. Dikhawatirkan besarnya peran pemerintah akan menumpulkan peran mahasiswa untuk mengkritisi setiap kebijakan yang merugikan. Terlebih lagi di bagian usulan perubahan terhadap draft RUU PT unsur wakil dari sivitas akademika dihapus sehingga tidak ada perwakilan mahasiswa di Majelis Pemangku.


Penutup

Pada akhirnya semua akan kembali pada satu permasalahan inti dari berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia yaitu kemauan politik pemerintah untuk membangun negara melalui pendidikan. Selama dana yang dianggarkan minim, kebijakan tambal sulam, dan permainan bisnis serta politik dalam pendidikan, keinginan untuk bersaing dengan negara lain hanya akan menjadi mimpi yang semakin tak terlampaui.

RUU Pendidikan Tinggi Dan Kegelisahan Tingkat Tinggi

Hantaman badai seakan tidak pernah selesai dari dunia pendidikan Indonesia. Gerah dengan permasalahan klasik tahunan yang tak kunjung usai seperti Ujian Nasional, kini rakyat dihadapkan pada satu isu besar regulasi Pendidikan Tinggi. Pemerintah bersama dengan DPR sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang rencananya akan disahkan tahun ini.

Pasca pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata pemerintah ingin membangkitkan ruh BHP melalui RUU PT. Sejumlah prinsip yang terdapat di BHP juga dianut oleh RUU PT. Ibarat sebotol minuman, isi minuman tetap sama namun kemasannya berbeda. Pengaruh neoliberal sepertinya sudah menghujam kuat dan mempengaruhi akal sehat para wakil rakyat.

RUU PT mengatur besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa. Disebutkan bahwa mahasiswa menanggung maksimal sepertiga dari total biaya operasional kampus. Sedangkan tak ada satupun pasal yang menyebutkan besarnya kewajiban pemerintah membiayai pendidikan tinggi. Hal ini jelas menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk melepas tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan. Padahal UUD sangat jelas mengamanatkan bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bahkan jika kita melihat realitas saat ini, biaya kuliah semakin lama semakin mahal sementara masyarakat miskin semakin sulit mengakses pendidikan tinggi berkualitas. Kampus-kampus BHMN seperti UI, ITB, UGM, dan lainnya berdiri kokoh sebagai kampus unggulan dan mahal yang isinya kebanyakan kaum-kaum berduit. Bukan rahasia lagi jika biaya masuk perguruan tinggi bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Jumlah yang kecil untuk kaum elit, namun tentu saja sangat menakutkan bagi rakyat miskin.

Pendidikan tinggi seharusnya tidak disamakan dengan lembaga bisnis yang tujuannya mengeruk keuntungan dan membuka ladang-ladang kekayaan. Pendidikan tinggi seharusnya ditujukan untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan mampu membangun bangsa dari keterpurukan. Pendidikan tinggi harus mampu memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar terbaik untuk mengembangkan keilmuannya tanpa harus membeda-bedakan status ekonominya.

Jika RUU PT ini disahkan dan menghasilkan kebijakan yang tidak pro rakyat, mimpi untuk menjadi negara yang maju dan mampu menyejahterakan rakyatnya akan semakin sulit dicapai. Karena disadari bahwa hanya dengan pendidikan lah suatu bangsa akan bangkit dari keterpurukan. Dari berbagai permasalahan pendidikan yang sepertinya tidak ada habisnya, akhirnya kita patut bertanya, kapankah kegelisahan ini akan berakhir?

Profil Education Watch BEM UNJ


"Bangsa yang maju adalah bangsa

yang meletakkan pendidikan

sebagai prioritas pembangunan”


Enam puluh lima tahun setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, kita melihat bahwa kondisi bangsa ini masih terpuruk hampir di semua bidang kehidupan. Tingkat kemiskinan yang tinggi, kesenjangan yang besar antara konglomerat dan orang melarat, kebodohan dalam bidang sains dan teknologi, kerusakaan moral yang semakin menjadi, adalah segelintir fakta yang mencambuk tubuh kita sebagai Rakyat Indonesia. Kita melihat bahwa Indonesia masih menjadi negara berkembang (atau bahkan terbelakang) sedangkan negara tetangga seperti Malaysia, India, dan Singapura sudah jauh meninggalkan Indonesia dalam kancah percaturan dunia.

Memahami kondisi bangsa yang kian memprihatinkan, kita perlu bertanya, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan Indonesia? Apa yang salah sehingga kita tertinggal dari China dan Singapura yang bahkan kemerdekaannya diperoleh beberapa tahun setelah Indonesia merdeka?”

Belajar dari sejarah, ditemukan fakta bahwa negara-negara yang saat ini menjadi negara maju di dunia adalah negara yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas pembangunan. John F Kennedy mengajukan pertanyaan yang terkenal ketika Amerika Serikat tertinggal dari Rusia dalam bidang penerbangan antariksa, “What’s wrong with our classroom?” Atau Perdana Menteri Jepang yang setelah negaranya dijatuhi bom atom menanyakan berapa jumlah guru yang masih hidup. Bagaimana dengan Indonesia?

Sudah saatnya kita bangkit. Indonesia butuh pemuda-pemuda dengan semangat dan kesadaran pendidikan yang tinggi. Mengapa pemuda? Karena pemuda adalah pilar kebangkitan. Pemuda adalah penggerak perubahan. Pemuda adalah harapan bangsa. Soekarno pernah berkata, “Berikan kepadaku 10 orang pemuda, maka akan aku goncangkan dunia.”

Education Watch lahir atas dasar keprihatinan dan kepeduliannya terhadap pendidikan. Ia merupakan sebuah wadah perkumpulan yang membahas dan mengkaji permasalahan-permasalahan pendidikan Indonesia serta bergerak untuk kemajuan pendidikan Indonesia. Education Watch yang biasa disebut Eduwa adalah underbow Departemen Pendidikan BEM UNJ yang juga setara dengan underbow-underbow lainnya seperti Green Force dan Tim Pembela Mahasiswa.

Visi : Menjadikan Education Watch sebagai penggerak pendidikan yang kritis, solutif, dan kontributif terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia.

Press Release “EVALUASI MENUJU 2 TAHUN KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL”


HENTIKAN KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL SEBAGAI SYARAT KELULUSAN,
HENTIKAN PROGRAM RSBI/SBI, DAN
PENUHI ANGGARAN PENDIDIKAN MINIMAL 20% DARI APBN DAN APBD DI LUAR GAJI PENDIDIK


Kondisi pendidikan Indonesia menjelang 2 tahun kepemimpinan Mendiknas M. Nuh masih jauh dari harapan. Kebijakan Ujian Nasional yang kontroversial dan telah digugat oleh sejumlah pakar pendidikan, pengamat, dan pemerhati pendidikan masih juga berjalan. Padahal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui keputusannya tertanggal 21 Mei 2007 yang diperkuat oleh keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Citizen Law Suit yang menetapkan bahwa pemerintah dengan kebijakan ujian nasionalnya telah melanggar Hak Asasi Manusia. Dalam salah satu amar putusannya tertulis “Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut.”

Sementara itu program RSBI/SBI yang telah berlangsung sejak tahun 2006 juga menuai banyak kritik. RSBI/SBI telah melegalkan komersialisasi pendidikan karena biaya sekolah menjadi sangat mahal. Akibatnya masyarakat kalangan ekonomi lemah semakin terjauhkan dari pendidikan yang berkualitas. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengamanatkan para penyelenggara pemerintahan sesuai pasal  31 ayat (2) yang tertulis “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” serta di dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat (1) tertulis “Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”

Mengenai anggaran pendidikan, pemerintah saat ini menyatakan bahwa anggaran pendidikan sudah memenuhi tuntutan undang-undang yaitu 20% APBN. Nyatanya 20% yang dimaksud pemerintah sebenarnya bukanlah murni anggaran pendidikan melainkan juga termasuk anggaran gaji pendidik. Padahal UUD 1945 pasal 31 ayat (4) menyatakan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Sementara itu UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 49 ayat (1) dengan tegas menyatakan “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

Berdasarkan paparan tersebut Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ menyatakan sikap:
  1. Mendesak pemerintah untuk menghentikan kebijakan ujian nasional sebagai syarat kelulusan. 
  2. Mendesak pemerintah untuk menghentikan program RSBI/SBI. 
  3. Mendesak pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik.


Jakarta, 27 April 2011
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Positioning Paper Kebijakan Ujian Nasional


Pendahuluan
Kontroversi dan silang pendapat tentang kebijakan Ujian Nasional hingga saat ini masih terus berlangsung. Sebagian kalangan menilai bahwa Ujian Nasional perlu tetap dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku. Kalangan lain berpendapat bahwa kebijakan ini tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem pendidikan nasional. Sementara kalangan lain juga memiliki pendapat berbeda, yaitu menolak Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, sementara fungsinya yang lain masih boleh dipertahankan. Ketiga perbedaan pendapat tersebut tentunya dilandasi oleh argumen yang diyakininya masing-masing.
Jika kita melihat kembali sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal evaluasi, Indonesia sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi yang berganti-ganti dari masa ke masa. Pada tahun 1950-1960-an Indonesia menerapkan Ujian Penghabisan. Tahun 1965-1971 menjadi Ujian Negara. Kemudian tahun 1972-1979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun 1980-2000 dilakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Baru pada tahun 2001-2004 berlaku Ujian Akhir Nasional yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama menjadi Ujian Nasional.
Kebijakan Ujian Nasional untuk tahun 2011 ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini terdapat porsi 60-40. Maksudnya kelulusan peserta didik ditentukan dari 60% nilai ujian nasional dikombinasikan dengan 40% nilai sekolah. Nilai sekolah yaitu gabungan nilai ujian akhir sekolah dan nilai rata-rata rapor dari semester 1-5 untuk SMP/MTs/SMPLB dan semester 3-5 untuk siswa SMA/MA/SMK. Bobot untuk nilai sekolah adalah 60% nilai ujian sekolah dan 40% nilai rata-rata rapor. Perbedaan lain juga yaitu tidak adanya ujian ulangan untuk tahun ini dan pemberlakuan 5 paket soal dalam satu ruangan.
Perlu dipahami bahwa tujuan pemerintah melaksanakan ujian nasional antara lain untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk memetakan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah. Sementara fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan agar tercipta SDM yang mampu bersaing secara global.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: (1) Apakah Ujian Nasional sesuai dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003? Apakah ujian nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan? Bagaimanakah sikap BEM UNJ terhadap kebijakan ujian nasional? Apakah rekomendasi BEM UNJ untuk memperbaiki pendidikan nasional dipandang dari kebijakan ujian nasional?


Landasan Kebijakan dan Fungsi Ujian Nasional
Di dalam buku Tanya Jawab UN 2011 yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa landasan pelaksanaan kebijakan ujian nasional terdapat pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2) tertulis “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.
Ketentuan di atas pada dasarnya bertentangan dengan pasal sebelumnya, yaitu pasal 58 ayat (1) menyatakan “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Dalam ayat (1) sudah jelas dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh pendidik. Pendidik yang dimaksud di sini adalah guru. Dan yang dievaluasi adalah hasil belajar peserta didik. Artinya perkembangan peserta didik selama belajar sekolah itu dinilai dan dievaluasi oleh gurunya sendiri yang mengajarnya di kelas. Sementara pada ayat selanjutnya yakni ayat (2), yang dimaksud dengan evaluasi peserta didik di sini bukanlah untuk menentukan lulus tidak lulusnya peserta didik dari satuan pendidikan. Akan tetapi untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Landasan lain yang dikemukakan oleh pemerintah dalam buku Tanya Jawab UN 2011 adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1) tertulis:
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Pasal tersebut khususnya butir (c) menjadi dasar terkuat yang sangat jelas maknanya sebagai landasan bagi pelaksanaan Ujian Nasional. Namun secara tingkatan Undang-Undang berada di atas Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu seharusnya Peraturan Pemerintah adalah penjabaran dari Undang-Undang. Apabila terdapat ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang bertolak belakang dengan ketentuan Undanh-Undang maka yang harus dijadikan pedoman adalah Undang-Undang.
Karena Undang-Undang Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasai hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dan bukan oleh pemerintah maka tugas tersebut merupakan hak mutlak dari seorang guru. Pemerintah tidak berhak mengevaluasi hasil belajar peserta didik terlebih dalam menentukan kelulusan.
Pada PP No 19 tahun 2005 tentang SNP pasal 68 menyatakan bahwa:
Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk
  1. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; 
  2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 
  3. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; 
  4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Berdasarkan pasal inilah maka ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan yang tertera pada butir (c). Sementara patut kita kritisi apakah pemerintah telah menjalankan butir-butir lainnya khususnya butir (a) dan (d)? Nampaknya belum ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil ujian nasional. Hasil ujian nasional dari tahun ke tahun belum bermakna bagi pemetaan dan pembinaan serta pemberian bantuan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkret yang dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang nilai ujiannya jauh di bawah standar?
Sementara itu mengenai kelulusan peserta didik mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 pasal 72 ayat (1) yang menyatakan:
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah
  1. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; 
  2. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 
  3. lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 
  4. lulus Ujian Nasional.
Butir (d) itulah yang juga menjadi dasar mengapa ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan.


Hakekat, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia semula didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954. Kemudian diganti menjadi UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya yang saat ini berlaku adalah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (1) tertulis “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Terlihat jelas bahwa ketentuan tersebut menekankan pentingnya mewujudkan suasana dan proses pembelajaran yang mendorong  peserta didik secara aktif mengembangankan potensi dirinya. Sementara suasana dan proses pembelajaran yang demikian tidak dapat terwujud dengan berlakunya sistem ujian nasional yang model pembelajarannya menekankan pada kemampuan verbal untuk menjawab soal pilihan ganda. Ujian nasional malah mendorong proses pembelajaran yang mengutamakan kegiatan mendengar, mencatat, dan menghafal pengetahuan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom dan juga Soedijarto di Amerika Serikat ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik terhadap apa yang akan diujikan. Oleh karena itu ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menyebabkan peserta didik dalam proses belajarnya tidak merasa perlu untuk membaca novel, tidak merasa perlu untuk melakukan percobaan di laboratorium, tidak merasa perlu untuk melakukan berbagai aktivitas belajar lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan potensi dirinya karena semua itu tidak akan diujikan.
Dampak lainnya dari kebijakan ujian nasional adalah guru akan membantu peserta didik untuk menghadapi ujian dengan cara melatih peserta didik menjawab soal-soal ujian. Sekolah dan pemerintah daerah akan berusaha agar siswanya banyak yang lulus termasuk dengan cara-cara yang tidak etis semisal pembentukan “tim sukses”. Hal ini terjadi karena menyangkut akreditasi dan citra sekolah serta daerah yang berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap sekolah dan daerah tersebut. Sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus akan dianggap sebagai sekolah tidak bermutu sehingga tahun berikutnya masyarakat tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.
Dampak-dampak di atas sebagai akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional tidak mungkin mampu mewujudkan proses pembelajaran yang mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan.
Mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. “
Fungsi pendidikan yang dikemukakan dalam UU Sisdiknas tersebut sesuai dengan empat misi Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Mengapa para pendiri republik menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu misi penyelenggaraan negara?
Dengan memahami latar belakang sejarah Indonesia sebelum kedatangan penjajah, yakni setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke-15, wilayah nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil yang selanjutnya dikuasai oleh penjajah sejak abad ke-17. Kondisi Nusantara sejak saat itu sangat jauh tertinggal dalam hampir semua dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, dan IPTEK oleh bangsa-bangsa Eropa yang telah bangkit menjadi negara-negara industri sejak Renaissance. Oleh karena itu tampaknya para pendiri republik terilhami oleh Otto von Bismark (Jerman), Garibaldi (Italia), King Arthur (Inggris), dan Thomas Jefferson (Amerika Serikat), bercita-cita membangun sebuah Negara yang cerdas kehidupannya, yaitu masyarakat negara yang maju, modern, demokratis, dan berkeadilan sosial. Dan tampaknya para pendiri republik pun berpegang kepada paradigma yang dianut oleh negara-negara maju saat itu yakni “BUILD NATION BUILD SCHOOL.”
Apabila fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam ketentuan UU Sisdiknas tersebut tercapai, Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cerdas kehidupannya. Namun Prof. Dr. Soedijarto, M.A. menyatakan bahwa ujian nasional tidak akan dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut karena ujian nasional tidak dapat mengukur seberapa jauh perkembangan kemampuan dan watak peserta didik. Dasarnya karena hal itu tidak akan tercapai melalui proses pembelajaran yang mengutamakan belajar mencatat, mendengar, dan menghafal.


Mutu Pendidikan dan Etos Kerja

Pemerintah berpendapat bahwa Ujian Nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan dan meningkatkan etos kerja serta semangat belajar peserta didik. Dasarnya ujian nasional yang secara statistik mengalami peningkatan nilai kelulusan dari tahun ke tahun diartikan sebagai peningkatan mutu pendidikan. Apakah mutu bisa diartikan sesempit dan sedangkal itu? Lalu semangat belajar peserta didik agar dapat lulus ujian diartikan juga sebagai peningkatan etos kerja. Apakah hal-hal yang menjadi akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional benar mampu menciptakan masyarakat yang beretos kerja tinggi? Yang terjadi di lapangan justru maraknya kecurangan dan manipulasi nilai yang bukan saja tidak berlaku valid untuk menyatakan peningkatan mutu bahkan telah terjadinya pada kondisi seperti ini telah menyebabkan kemerosotan karakter.
 Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang berhasil membentuk siswa yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian (pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas). Untuk itu perlu dirancang satu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang mendorong siswa secara aktif mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Selama sarana prasarana tidak memadai, gaji guru kecil, kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, media belajar miskin, manajemen sekolah amburadul, dan kurikulum tak tepat guna, apa yang bisa kita harapkan dari peningkatan mutu pendidikan? Jika pemerintah tetap menekankan pada ketercapaian Standar Kompetensi Lulusan tanpa mendorong secara maksimal pemenuhan ketujuh standar lainnya (standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan) usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan SDM yang mampu bersaing di dunia internasional tidak akan banyak berarti.
Berdasarkan laporan UNDP, Indeks Prestasi Manusia Indonesia tahun 2010 berada di peringkat 108 dari 169 negara di dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-negara tetangga lain seperti Malaysia yang berada di 57, China pada posisi 89, Thailand di peringkat 92, dan Filipina di posisi 97. Studi ini menilai tingkat ekonomi, kesehatan, dan pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih dalam keadaan miskin, sakit, dan bodoh.
Studi PISA yang dilakukan oleh negara-negara OECD untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa menilai bahwa Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara pada tahun 2009. Untuk kemampuan membaca Indonesia berada di peringkat 57 dibawah Thailand yang berada di perngkat 50. Untuk matematika Indonesia berada di peringkat 61 dan Thailand tetap di peringkat 50. Untuk sains Indonesia mendapat peringkat 60 sementara Thailand di posisi 49.
Bedasarkan data Depdiknas tahun 2007/2008 sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak. Di SD terdapat 48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20% ruang kelas yang ruasak. Sementara di SMA dan SMK 10% dinyatakan rusak. Untuk fasilitas perpustakaan di SMP hanya memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia. Artinya 77% SMP tidak dilengkapi dengan perpustakaan. Laboratorium hanya 27% untuk tingkat SMP. Artinya 73% SMP tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru 39% sekolah yang sudah dilengkapi perpustakaan sementara 61% belum mempunyai perpustakaan. Laboratorium SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK tidak memiliki laboratorium. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana dan prasarana sekolah masih belum memadai.
Untuk meningkatkan etos kerja marilah melihat pandangan guru besar emiretus UNJ Prof. Dr. H . Soedijarto, M.A. Beliau berpendapat bahwa evaluasi yang terus-menerus, komprehensif, dan obyektiflah yang berpengaruh untuk menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang-menurut pengamatan beliau menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.


Gugatan Hukum terhadap Kebijakan Ujian Nasional
Setelah berbagai upaya untuk mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah tidak mendapat tanggapan yang berarti, sejumlah warga negara kemudian berkelompok dan mengajukan tuntutan hukum. Sebanyak 58 orang dengan dipimpin oleh Kristiono melakukan gugugatan Citizen Law Suit tentang ujian nasional ke pengadilan.
Tertanggal 21 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan perkara gugatan Citizen Law Suit tentang Ujian Nasional Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Dalam amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Andriani Nurdin, SH, MH memutuskan:
  1. Mengabulkan gugatan Subsidiair Para Penggugat; 
  2. Menyatakan bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak; 
  3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut; 
  4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional; 
  5. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional;
  6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp. 374.000,- (Tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).

Atas putusan tersebut para tergugat (pemerintah) mengajukan banding. Pada tanggal 6 Desember 2007 Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya para tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tanggal 14 September 2009melalui putusan nomor 2596K/PDT/2009/MA menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah.
Sungguh sangat disayangkan, pemerintah nampaknya buta dan tidak menghormati putusan lembaga-lembaga hukum tersebut. Ujian Nasional tetap jalan. Dan tuntutan-tuntutan gugatan tidak dilaksanakan. Padahal lembaga-lembaga hukum tersebut adalah lembaga yang dibentuk oleh negara secara sah. Sangat tidak patut pemerintah yang mengesahkan pendirian lembaga-lembaga hukum tersebut ternyata tidak mentaati hukum yang diterapkan.
Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN) selaku kuasa hukum dari para penggugat bersama Education Forum juga mengajukan permasalahan ujian nasional ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat, KPAI memandang bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah. Setelah pada tahun 2008 KPAI melakukan kajian secara intens yang melibatkan banyak pihak di berbagai bidang ilmu diperoleh kesimpulan bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan perspektif perlindungan anak yang dilihat dari empat hal:

  1. Ujian nasional sangat diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anak-anak diperlakukan dan dituntut untuk mencapai target yang sama. 
  2. Ujian nasional lebih menekankan kepada kepentingan politik pemerintah daripada kepentingan anak. Seharusnya yang diutamakan adalah menjalankan proses pendidikan ramah anak, akses yang mudah, sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru yang berkualitas. 
  3. Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang anak karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak wajar bahkan tidak manusiawi, dengan penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan takut, serta ancaman kekerasan. 
  4. Ujian nasional tidak menghargai partisipasi anak karena sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri, bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah bergembira dengan angka-angka kelulusan. Selayaknya anak dihargai dan didengar pendapatnya. 


Selain itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengeluarkan rekomendasi terkait kebijakan ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP untuk melakukan:

  1. Peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan nasional;
  2. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus pasal 72 yang menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan; 
  3. Meninjau ulang atau menghentikan Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun 2010; 
  4. Mematuhi Putusan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor : 377/K/PDT/2007/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2596K/PDT/2009. 


Pernyataan-pernyataan dari KPAI dan Komnas HAM, terlebih keputusan Pengadilan seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah terhadap kebijakan ujian nasional. Sangat disesalkan bahwa pemerintah tidak pernah menghiraukan saran dan kritik-kritik tersebut.


Posisi Pemerintah dalam Pendidikan
Prof. Dr. S. hamid Hasan, M.A. meyatakan bahwa selain sebagai penyelenggara pendidikan, pemerintah memiliki dua peran dalam menjaga mutu pendidikan nasional, yaitu sebagai selektor dan sebagai penjamin mutu. Berikut ini akan dibahas kedua peran tersebut.
1. Peran sebagai selektor
Peran ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan satu proses seleksi untuk menentukan apakah seseorang telah memenuhi kualitas seperti yang diinginkan. Ujian nasional menjalankan peran ini dalam pendidikan. Dengan peran ini pemerintah membagi siswa didik dalam dua kelompok besar, yaitu siswa yang lulus sehingga dinyatakan berkualitas serta siswa yang tidak lulus sehingga dinyatakan tidak berkualitas. Denagn peran ini ujian nasional merusak rasa keadilan masyarakat. Karena pada dasarnya kegagalan siswa didik dikarenakan kelalaian pemerintah dalam memberikan hak atas pendidikan yang berkualitas. Ujian nasional telah melanggar prinsip “fairness” dalam hal evaluasi karena ujian yang sama dilakukan terhadap siswa dengan kondisi pendidikan yang tidak sama. Tentu saja tidak bisa disamakan antara sekolah di wilayah Indonesia Barat khususnya di pulau Jawa dengan sekolah-sekolah di wilayah Indonesia Timur. Sehingga ujian nasional pada dasarnya menghukum siswa yang kebetulan sekolah di sekolah yang kondisinya belum memenuhi standar.
2. Peran sebagai penjamin mutu
Denagn peran ini maka pemerintah bertanggung jawab untuk menghasilkan warga negara yang memiliki kualitas minimal yang ditetapkan. Dengan peran ini pemerintah mengembangkan pelayanan pendidikan yang mendukung berkembangnya potensi peserta didik secara optimal. Pemerintah mengawasi sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan untuk menjamin kualitas pendidikan sebagai hak peserta didik. Berdasarkan peran ini maka ujian nasional digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap pelayanan sekolah. Sekolah-sekolah yang kualitasnya di bawah standar selanjutnya dipelajari faktor-faktor penyebabnya. Jika kelemahan pelayanan disebabkan karena fasilitas fisik maka diperbaikilah fasilitas fisik tersebut. Jika kelemahan terjadi karena kemampuan guru yang rendah maka dilakukanlah serangkaian program pelatihan dan penyegaran bagi guru.
Posisi kedua tersebut, yaitu sebagai penjamin mutu banyak dianut oleh negara-negara yang hasil pendidikannya baik di dunia. Jepang dan Korea Selatan melakukan tes nasional, bukan ujian nasional, yang dilaksanakan pada saat anak berusia 12 dan 15 tahun untuk mengetahui kualitas hasil belajar dan memperbaiki pelayanan pendidikan, bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik. Keberhasilan peserta didik dari satuan pendidikan di kedua negara tersebut ditentukan oleh “teacher assessment”.
Hampir semua negara di Eropa kecuali Hungaria, Swiss, dan Kanada melakukan ujian negara untuk peserta didik yang akan melanjutkan pendidikan ke SMA. Ujian ini bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari SMP tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya untuk selanjutnya ditentukan apakah melanjutkan ke sekolah umum atau sekolah kejuruan. Sementara Hungaria, Swiss, Kanada, dan juga Australia melakukan ujian nasional pada peserta didik usia 18 atau 19 tahun sebagai persyaratan masuk ke perguruan tinggi dan digunakan untuk menjamin kualitas pelayanan pendidikan.

  
Kesimpulan Kajian
Setelah mempelajari dan mengkaji dengan cermat permasalahan kebijakan ujian nasional dicapailah satu kesimpulan bahwa kebijakan ujian nasional memang bermasalah. Ujian nasional pada dasarnya bertentangan dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas No. 29 tahun 2003. Apalagi secara konstitusional landasan kebijakan ujian nasional lontradiktif dengan UU Sisdiknas. Ujian nasional bahkan tidak mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan malah semakin mengkerdilkan pendidikan menjadi sebatas persiapan lulus ujian. Ujian nasional tidak mendukung terciptanya suasana pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya. Labih jauh KPAI dan Komnas HAM juga telah menyatakan bahwa ujian nasional tidak ramah anak dan mendesak dihentikannya kebijakan tersebut. Apalagi diperkuat dengan keputusan Pengadilan sebagai lembaga hukum yang menyatakan bahwa pemerintah dengan kebijakan ujian nasionalnya telah lalai dalam pemenuhan dan perlindungan HAM.
Oleh karena itu kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ menyatakan sikap “Menolak Kebijakan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan.”


Rekomendasi
Dengan semangat untuk memperbaiki pendidikan Indonesia agar tercapai misi dan cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ memberikan beberapa point rekomendasi:

  1. Pemerintah menjalankan dan memenuhi tuntutan sesuai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
  2. Pemerintah merevisi PP No. 19 tahun 2005 pasal 68 dengan menghapus butir (c) dan pasal 72 ayat (1) dengan menghapus butir (d);
  3. Pemerintah menghentikan kebijakan ujian nasional sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari satuan pendidikan yang sedang ditempuhnya;
  4. Pemerintah memprioritaskan pemenuhan terhadap ketujuh standar nasional pendidikan yaitu isi, proses, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian, serta pendidik dan tenaga kependidikan. Apabila ketujuh stnadar ini telah terpenuhi maka dengan sendirinya standar kompetensi lulusan akan tercapai;
  5. Pemerintah menghentikan UASBN untuk siswa SD karena wajib belajar lamanya 9 tahun maka siswa SD harus secara otomatis naik ke SMP;
  6. Pemerintah menyerahkan evaluasi hasil belajar peserta didik sepenuhnya kepada pendidik;
  7. Pemerintah mengembangkan satu sistem evaluasi yang terus menerus, obyektif, dan komprehensif;
  8. Pemerintah memposisikan dirinya dalam perannya sebagai penjamin mutu pendidikan bukan sebagai selektor.

Referensi
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas

Education Forum. 2007. Menggugat Ujian Nasional. Teraju

Soedijarto. Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan, Dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Dirancang Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Dan Memajukan Peradaban Bangsa. Makalah disajikan dalam “Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta 18 Februari 2010

Soedijarto. Kedudukan Sitem Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang Dari 1945 Dan Kebijaksanaan Pelaksanaannya Dari Masa Ke Masa. Makalh disajikan dalam “Seminar Nasional, Telaah Kritis Falsafah Pendidikan Kreatif” yang diselenggarakan Lembaga Kajian Mahasiswa Expo 2009 di UNJ 8 Desember 2009

Soedijarto. Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Indonesia (Hasil Sebuah Renungan Analitik). Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Telaah Kritis pelaksanaan Pendidikan Nasional” diselenggarakan di Jakarta 7 April 2011 oleh Forum Mahasiswa Pascasarjana UNJ

Suparman. Catatan Perjalanan Gugatan Masyarakat Terhadap Kebijakan Ujian Nasional. Makalah disajikan pada Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Education Watch BEM UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ

Johny Nelson Simanjuntak. Perkara Ujian Nasional Dan Isuus HAM. Makalah disajikan pada Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Education Watch BEM UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ

Hadi Supeno. Ujian Nasional dalam Perspektif Perlindungan Anak. Makalh disajikan untuk bahan Diskusi Publik seputar “Penolakan kasasi Pemerintah oleh Mahkamah Agung dalam Kasus Gugatan Ujian Nasional” di LBH Jakarta, Selasa 1 Desember 2009

Pers Release Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Tentang Ujian Nasional Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Berarti Melakukan Pembangkangan Hukum. Jakarta, 30 November 2009

Siaran Pers Tim Advokasi Korban Ujian Nasional. Pernyataan Humas MA Terkait Putusan Ujian Nasional Adalah Tafsir Pribadi Dan Keluar Dari Substansi Gugatan Serta Amar Putusan. Jakarta 1 Desember 2009

Pers Release Tim Advokasi Korban Ujian Nasional dan Education Forum. Gugatan ujian Nasional Kembali Dimenangkan Oleh Mahkamah Agung, Permohonan Kasasi Pemerintah Ditolak. Jakarta 25 November 2009

S. Hamid Hasan. Ujian nasional Dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan. [ONLINE] diunduh dari http://file.upi.edu tanggal 27 April 2011
Indonesia Peringkat 10 besar Terbawah Dari 65 Negara Peserta PISA. [ONLINE] diunduh dari http:// edukasi.kompasiana.com pada tanggal 27 April 2011

Tanya Jawab Pelaksanaan Ujian Nasional 2011. Ebook diunduh dari http://kemdiknas.go.id

Human Development Report 2009. Ebook diunduh dari http://oecd.org

Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 2007/2008. Ebook diunduh dari http://www.depdiknas.go.id

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan