Senin, 05 Desember 2011

Ke Mana Perahu Itu Berlayar?


Hembusan angin kencang menerpa layarnya. Gulungan ombak menghantam hingga terombang-ambing dalam samudera yang luas tak bertepi. Badai itu telah sedemikian hebatnya mengacaukan laju sang perahu, hingga alat navigasi yang sejatinya telah reot dimakan usiapun tak mampu lagi menunjukkan arah yang seharusnya. Perahu itupun melaju entah ke mana, tanpa arah, tanpa tujuan. Mengikuti kemauan angin yang meniupnya, menghendaki amukan ombak yang mendorongnya. Jauh melenceng dari rencana awal keberangkatan. Lantas, ke mana perahu itu berlayar?

Jika kita menilik realitas pendidikan Indonesia saat ini, sekiranya tidaklah terlalu berbeda bila diibaratkan dengan perahu tersebut. Ya, perahu itu adalah perahu pendidikan. Rupanya pendidikan bangsa ini telah kehilangan arah. Pendidikan saat ini sudah lupa akan tujuan awal yang dicita-citakan. Sebuah kenyataan pahit yang tentunya cukup membuat hati ini menjerit dan batin ini berontak.

Sejarah telah banyak mengajarkan kepada kita bagaimana cita-cita para founding fathers negeri ini. Bapak pendidikan Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara) sangat menjunjung tinggi nilai kesatuan dan kesamarataan melalui Taman Siswa yang didirikannya tanpa membedakan status sosial seseorang. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hegel berabad-abad yang lalu, “Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah,” betapa bangsa ini sudah seperti melupakan nasihat-nasihat dan cita-cita para pembesar negeri.

Fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tapi kenyataannya, fungsi mulia tersebut belum bisa terealisasi dengan baik. Pendidikan bukanlah lagi untuk pembentukan akhlak mulia dan karakter bermartabat melainkan hanyalah pentransferan ilmu yang banyaknya segudang untuk benar-benar sekedar diajarkan, bukan untuk sama-sama dilakukan apalagi sampai direnungkan. Terbukti, pendidikan selama ini tidak mampu menghasilkan orang-orang terdidik yang jujur, berpikir sehat, bertutur sopan mulai dari rakyat sampai elite politik yang berkuasa. Hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan bahwa bangsa ini telah (pernah) dibesarkan oleh pendidikan di masa lalu.

Sesungguhnya kita tidak pernah tahu apa yang dalam beberapa dekade terakhir ini dapat kita harapkan dari sekolah dan universitas kecuali uang gedung yang mahal, gaji guru yang tidak manusiawi, makelar-makelar yang menjajakan gelar, dan ilusi-ilusi “sekolah unggul” atau “sekolah masa depan.” Kita tidak pernah tahu mengapa sekolah dan universitas tidak pernah membuat orang menjadi terbuka pikirannya, apalagi yang peka nuraninya.

Jadi, apakah ruginya negeri ini bila semua sekolah dan universitas, sebagaimana kita kenal selama ini, dibubarkan saja? Tidakkah itu justru mungkin dapat menggugah kesadaran bahwa pendidikan dan pembelajaran seharusnya berada tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di dalam masyarakat.

Jika kondisi ini dibiarkan terus terjadi, sungguh tak bisa dibayangkan, bagaimana nasib bangsa ini lima puluh tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar