Senin, 05 Desember 2011

Hasil Diskusi RUU PT dengan Komisi X DPR

Selasa, 28 Juni 2011
Ruang Rapim Fraksi Komisi X DPR

Maraknya perbincangan mengenai Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) tak terlepas dari kekhawatiran sebagian besar elemen mahasiswa terhadap munculnya wajah baru Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU BHP yang sarat dengan nilai-nilai liberalisme dan komersialisme akhirnya dinyatakan inkonstitusional pada 31 Maret 2010 setelah dilakukan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan putusan ini maka UU BHP dicabut dan tidak berlaku lagi.

Dengan dicabutnya UU BHP, bukan berarti semua permasalahan selesai. Terjadi kekosongan payung hukum yang mengatur tata kelola Perguruan Tinggi. Peraturan tersebut memang diperlukan karena tanpanya Perguruan Tinggi akan kehilangan pegangan. Atas dasar itulah maka lahirlah RUU PT yang rencananya akan disahkan di penghujung tahun 2011.

Sekarang, RUU PT ini pun tak lepas dari kritikan. Beberapa pendapat yang muncul antara lain: RUU PT adalah UU BHP jilid 2, RUU PT akan membuat pendidikan semakin mahal, RUU PT akan mengkerdilkan gerakan mahasiswa sehingga terjadi NKK/BKK jilid 2, serta RUU PT hanya mengatur tata kelola tetapi melupakan kualitas perguruan tinggi.

Dalam forum diskusi hadir perwakilan dari BEM ITB, UNPAD, UNJ, dan FL2MI. Berikut ini akan diuraikan permasalahan-permasalahan yang mengemuka dalam diskusi beserta pembahasannya.


Masalah Pendanaan

RUU PT mengatur besarnya biaya yang harus dibayar mahasiswa untuk kegiatan perkuliahan. Pada Bab Pendanaan Pasal 88 ayat (3) menyebutkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional Perguruan Tinggi.

Perlu diketahui bahwa biaya perguruan tinggi terdiri dari:
a. biaya investasi
b. biaya operasional
c. beasiswa
d. bantuan biaya pendidikan

Perhitungan 1/3 ini dihitung secara agregat dari total biya operasional dan jumlah mahasiswa. Misalkan biaya operasional suatu kampus adalah Rp 3 milyar dengan jumlah mahasiswa 1000 orang. Maka tiap mahasiswa paling banyak membayar Rp 1 juta. Sistem agregat tentu memiliki kelemahan karena biaya mahasiswa mungkin saja berbeda antara yang mampu dan yang miskin. Oleh karena itu diusulkan perhitungan secara maksimum biaya per individu. Artinya semua mahasiswa baik itu kaya maupun miskin memiliki batas atas yang sama dalam biaya perkuliahan.

Permasalahan yang tidak muncul dalam diskusi dan belum terjawab adalah, apakah dengan porsi 1/3 itu cost yang dikeluarkan mahasiswa akan lebih murah dibandingkan saat ini atau justru malah semakin mahal? Untuk mengetahuinya tentu harus dicari dulu data riil per kampus. Berapa biaya operasional per semester dan berapa jumlah mahasiswa. Dari situ barulah kita bisa menyimpulkan dampak dari porsi 1/3 tersebut.


Hak Kuliah Bagi yang Kurang Mampu

Masih dalam Bab Pendanaan, pasal 88 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa PTN dan PTN Khusus wajib menerima dan mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh mahasiswa.

Permasalahannya adalah, bagaimana nasib mahasiswa yang memang kurang mampu tetapi memiliki potensi akademik yang biasa-biasa saja bahkan rendah? Padahal setiap mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi telah melewati serangkaian tes masuk. Hal ini berarti mereka sudah memiliki kualifikasi potensi akademik tinggi. Seharusnya bantuan biaya diberikan kepada paling sedikit 20% mahasiswa yang kurang mampu, tanpa membeda-bedakan status akademik.


Bantuan Dana dari Masyarakat

Pasal 83 ayat (2) berbunyi "PTN dapat memperoleh bantuan dana yang tidak mengikat dari masyarakat untuk biaya operasional, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan". RUU PT memang menyatakan bahwa perguruan tinggi dapat menerima bantuan dana dari masyarakat dan donatur.

Yang menjadi permasalahan adalah ke mana sebaiknya dana bantuan tersebut dialokasikan? Beberapa mahasiswa menilai sebaiknya dialokasikan ke biaya investasi, beasiswa, dan bantuan dana pendidikan, tanpa perlu dialokasikan ke biaya operasional. Pendapat lain menyatakan tidak mengapa biaya operasional dimasukkan ke dalamnya. Pendapat lain lagi menyatakan bahwa hal tersebut merupakan wewenang perguruan tinggi dan tidak perlu dibatasi pengalokasiannya.


Masalah Keorganisasian

Ada indikasi RUU PT menyebabkan organisasi kampus akan berada di bawah kendali pemerintah. Hal ini tercermin pada Bab tentang Organ PT pasal 49 yang menyatakan

Majelis Pemangku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a beranggotakan:
  1. Menteri atau yang mewakili;
  2. Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
  3. Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
  4. Wakil dari Senat Akademik;
  5. Pemimpin perguruan tinggi;
  6. Gubernur;
  7. Wakil dari Sivitas Akademika; dan
  8. Wakil dari masyarakat.
Dari point-point diatas secara jelas dapat dilihat bahwa pemerintah memiliki 4 kursi sedangkan dari perguruan tinggi hanya 3 kursi dan masyarakat 1 kursi. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan terjadinya pengekangan kegiatan organisasi kampus oleh pemerintah. Karena yang dimaksud dengan Majelis Pemangku adalah organ yang menjalankan fungsi penentuan kebijakan umum. Oleh karena itu diperlukan revisi untuk mengurangi power pemerintah yang terlalu besar.


Penurunan Kualitas Keilmuan

Sayangnya sebagian besar isi dari RUU PT adalah mengenai tata kelola dan peraturan-peraturan teknis. Sangat sedikit pasal yang berbicara mengenai mutu dan kurikulum. Terlebih lagi terdapat pasal yang menyatakan bahwa pemerintah mendirikan paling sedikit satu perguruan tinggi di setiap provinsi bahkan kabupaten/kota. Ini berarti jumlah perguruan tinggi akan semakin banyak. Tetapi mengedepankan kuantitas bukan kualitas justru malah akan memperburuk keadaan. Akan lebih baik jika pemerintah fokus memperbaiki kualitas perguruan tinggi yang sudah ada, setelah itu baru memperbanyak jumlahnya.Selain itu di dalam RUU PT hanya terdapat 2 pasal yang berbicara mengenai kurikulum. Padahal kurikulum memegang kunci perbaikan mutu lulusan.


Perguruan Tinggi Asing di Indonesia

RUU PT memberikan restu kepada PT asing yang telah terakreditasi untuk membuka program studi di Indonesia. Dengan adanya hal ini diharapkan terjadi persaingan sehat di antara perguruan tinggi untuk bersaing dan meningkatkan kualitasnya. Tentunya kurikulum dari PT asing tersebut akan diintegrasikan dengan kurikulum nasional. Pendapat yang mengemuka adalah seharusnya kita fokus dulu memperbaiki kualitas perguruan tinggi Indonesia. Tidak perlu berbicara mengenai persaingan global apalagi universitas kelas dunia.


Penutup

Diskusi yang berlangsung cukup singkat tersebut, yang dimulai pukul 09.00 sampai pukul 13.00 tentu saja dirasa belum optimal untuk mengeluarkan seluruh gagasan yang ingin disampaikan. Terdapat banyak sekali permasalahan yang belum sempat dibahas. Terdapat banyak sekali "unek-unek" yang belum sempat tersampaikan. Terlebih ada semacam "kondisi" yang diciptakan sehingga saya merasa bahwa kami tidak bebas untuk menyuarakan aspirasi. Salah satu catatan penting saya adalah tidak ada satu pun kata penolakan terhadap RUU PT ini. Padahal berdasarkan informasi yang saya dapat, BEM SI telah menyatakan menolak terhadap RUU ini. Yang terjadi hanyalah diskusi untuk merevisi pasal demi pasal. Karena sejak awal diskusi memang kami diarahkan untuk langsung masuk ke pasal per pasal dan memberikan masukan perbaikan redaksi.

Semoga apa yang saya rasakan hanyalah sebuah kekhawatiran yang berlebihan. Oleh karena itulah mari kita kaji secara mendalam RUU PT ini. Kita semua berharap kondisi pendidikan bangsa ini akan semakin maju. Dan perguruan tinggi khususnya dapat menjadi pilar kekuatan bangsa dalam mempercepat pembangunan.


HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar