Senin, 05 Desember 2011

Sekolah Anak Jalanan

  

Siang itu aku dan beberapa temanku dari BEM UNJ berkunjung ke Sekolah Anak Jalanan. Sekolah yang akrab disebut SAJA ini terletak di daerah Penjaringan Jakarta Utara. Kami berangkat dari kampus sekitar jam 10.30. Dengan berbekal sebuah peta kami susuri jalan. Akhirnya sampailah kami di SAJA setelah bertanya kepada beberapa orang warga.

Jangan bayangkan sebuah gedung sekolah yang luas dengan beberapa lantai dan halaman-halamannya. Sekolah ini sangat sederhana. Terdapat dua ruangan dan sebuah taman tanpa pohon di depannya. Namun dari kesederhanaan itulah justru sekolah ini tampak begitu anggun.

Kulihat beberapa kru sebuah stasiun TV sedang melakukan peliputan. Setelah itu kami disambut oleh seorang wanita berjilbab yang mempersilahkan kami masuk. Di dalam ada lagi seorang wanita dan seorang laki-laki dengan beberapa anak sedang melakukan aktivitas-aktivitasnya. Kami kemudian berbincang dengan Pak Reinhart, Kepala Sekolah SAJA.

Ada beberapa hal yang membuatku kaget. Kekagetan pertama karena yang menyambut kami adalah wanita berjilbab. Kami menyangka bahwa sekolah ini dikelola oleh non muslim. Karena setahu kami kepala sekolah SAJA bernama Reinhart, nama yang jauh dari kesan seorang muslim. Kekagetan kedua karena ternyata Pak Reinhart adalah seorang mualaf.

Kisah hidup Pak Reinhart sungguh membuat kami terkesima. Beliau bercerita bahwa dulu beliau berasal dari keluarga kaya non muslim. Sejak SMP sudah membawa motor, SMA sudah membawa mobil, kemudian kuliah manjemen di Universitas Pancasila yang waktu itu biaya semesternya mencapai 5 juta rupiah. Beliau kemudian memutuskan untuk masuk Islam namun mendapat tentangan yang keras dari keluarga-keluarganya. Keluarganya memberi pilihan apakah memeluk Islam namun keluar dari rumah atau tetap di rumah dan setia terhadap agama keluarganya. Bahkan saat itu Pak Reinhart sedang menyusun skripsi. Pilihan yang tentunya sangat berat. Namun keyakinan beliau untuk Islam tak membuatnya takut akan rintangan. Beliau memutuskan untuk tetap memilih Islam.

Kehidupannya setelah itu sungguh berbalik 180 derajat. Dari hidup kaya menjadi hidup terlunta-lunta di jalanan. Beliau menumpang di rumah atau kosan teman-temannya, berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Sering pula menginap di masjid bahkan terminal. Keperluannya menyelesaikan skripsi dan membayar biaya kuliah menuntut ia bekerja apa saja. Pernah ia bekerja sebagai kondektur bus sampai supir pribadi.

Di masa sulitnya itulah beliau menemukan makna kehidupan. Ternyata menjadi kaum marginal sungguh sangat memprihatinkan. Sangat sedikit orang yang mau memberikan perhatian apalagi bantuan. Ia jalani hidupnya sampai pada tahun 1998 dinyatakan lulus dan menyabet gelar sarjana ekonomi.

Setelah bekerja di beberapa lembaga sosial, pada tahun 2001 beliau mendirikan sebuah rumah singgah di daerah penjaringan. Warga di deerah tersebut tinggal di kolong jalan tol dengan pekerjaan yang tidak menentu. Awalnya memang sangat berat. Kecaman dan ancaman dari warga sekitar turut menyertai perjuangan beliau. Bahkan beliau pernah dikejar-kejar warga dengan golok. Rumah singgah yang didirikannya pun hampir tidak pernah awet. Selalu saja ada yang hilang dan rusak. Bahkan tuduhan kristenisasi pun menyebar.

Sekarang 10 tahun sudah sekolah ini berdiri. Keadaannya sudah jauh membaik. Anak-anak TK sampai kelas 6 SD yang ditampung sudah mencapai ratusan. Anak-anak itupun sekarang sudah tidak lagi turun ke jalan. Selain di SAJA mereka juga tetap bersekolah di sekolah formal. Orangtua anak-anak itu pun sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka tidak lagi menyuruh anak-anaknya mengemis di jalan. Mereka tidak lagi ribut ketika terjadi penggusuran. Mereka sudah memahami bahwa tanah yang ditinggalinya bukanlah miliknya.

Sungguh perbincangan yang sangat menyentuh dan bermakna. Masih banyak cerita-cerita beliau yang sangat menarik untuk diketahui. Masih banyak perjuangan-perjuangan beliau yang sangat baik untuk dijadikan pelajaran. Sekolah ini telah memberi arti kepada kami bahwa hidup adalah untuk berbagi.


Tak terasa sudah satu jam kami berbincang. Akhirnya kami pun meminta izin untuk pamit. Satu jam yang sangat berarti karena di sana kami menemukan sebuah makna, bahwa hidup adalah untuk berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar