Minggu, 09 September 2012

3 Matahari di Ufuk Indonesia

"Tadi malam saya bermimpi melihat 3 matahari. Ketika saya bangun mimpi itu saya ceritakan ke anak saya. Terus saya bertanya, nak kamu mengerti enggak kira-kira apa maksud dari mimpi ayah semalam? Anaknya menjawab, emang selama ini 2 matahari lagi ngumpet dimana yah???"
 
Itu candaan yang disampaikan Ndorokakung, moderator acara tersebut. Saya tidak tahu ceritanya itu benar atau cuma buatan, tapi hari itu kami semua yang berada di ruang Teater Bulungan memang menemukan 3 sosok matahari. Mereka adalah Anies Baswedan, Didi Petet, dan Handry Satriago.
 

Sabtu 1 September 2012, Akademi Berbagi membuka kelas pembelajaran yang bisa diikuti oleh semua lapisan masyarakat secara gratis. Tentu saja untuk mengikutinya harus terlebih dahulu mendaftar ke panitia. Seratus tiket disiapkan dan 1 pekan sebelum acara semua tiket sold out. Ternyata urusan belajar masyarakat kita sangat antusias. Ya iyalah kan gratis..

Temanya "Taman Pembelajaran untuk Perubahan." Akademi Berbagi ingin meneruskan semangat yang diwariskan Ki Hajar Dewantara melalui sekolah pertama yang dibangunnya yaitu Taman Siswa. Berbicara tentang taman, dalam benak kita terbayang suasana yang asri, pemandangan yang indah, nyaman, dan semua orang boleh datang. Itulah mengapa tema yang diusung juga menggunakan kata taman. Tidak ada sekat yang membatasi orang untuk belajar. Semua bisa belajar, semua boleh datang, dan tidak ada biaya apapun untuk mengikutinya.

Langsung aja ya ke intinya...

Anies Baswedan mendapat kehormatan menjadi pembicara pertama. Beliau dikenal sebagai ketua gerakan Indonesia Mengajar. Sebuah gerakan yang mengirimkan sarjana-sarjana terbaik se-Indonesia untuk mengajar selama 1 tahun di sekolah-sekolah terpencil di penjuru nusantara. Karir beliau saat ini adalah sebagai rektor Universitas Paramadina.
 


Dalam presentasinya Anies Baswedan menyampaikan gagasan tentang perbedaan antara program dan gerakan. Menurutnya selama ini yang banyak muncul adalah program bukan gerakan. Di mana letak perbedaannya? Program selalu memisahkan antara pembuat program dan peserta program sementara gerakan memposisikan pembuat dan peserta program sebagai sebuah tim. Contohnya begini, dulu rakyat Indonesia bersatu padu melawan penjajah. Semangat mereka begitu berkobar hingga rela mempertaruhkan nyawa mereka. Semua itu mereka lakukan karena kesadaran yang tinggi untuk merdeka. Tokoh-tokoh bangsa hanya memberikan dorongan dan membakar semangat rakyatnya untuk terus berjuang. Itulah gerakan.

Bagaimana jika merebut kemerdekaan itu dijadikan sebagai program? Tokoh-tokoh bangsa sebagai penyusun program akan menentukan alur program kemudian target keberhasilannya ditentukan. Setelah itu rakyat dipersilahkan untuk terlibat. Yang mau berjuang silahkan yang tidak mau berjuang juga tidak apa-apa. Dalam hal ini merdeka bukanlah kebutuhan bersama melainkan kebutuhan pembuat program.

Indonesia Mengajar dibangun bukan berdasarkan program melainkan sebuah gerakan. Pemuda-pemuda Indonesia diajak untuk membangun Indonesia bersama-sama melalui sektor pendidikan. Mereka diberikan kesadaran bahwa setahun mengajar akan seumur hidup menginspirasi. Terbukti jumlah pendaftar pengajar muda selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Berbicara mengenai gerakan, Anies Baswedan mengajak kita semua untuk mulai melakukan sesuatu. Karena menurutnya di Indonesia sudah terlalu banyak orang yang memiliki gagasan, memberikan solusi, serta menyampaikan kritik. Namun hanya sedikit dari mereka yang memulai untuk melakukan gagasan-gagasan dan solusi-solusi tersebut. Mereka berpikir bahwa tugas mereka hanya menyampaikan buah pikiran sementara orang lain yang akan mengerjakan.




Sesi kedua diisi oleh Didi Petet yang dikenal kiprahnya dalam dunia perfilman nasional. Dengan gayanya yang santai Om Didi memulai presentasi dengan membacakan sebuah puisi. Berikut kutipan puisinya.

Sajak Anak Muda Serba Sebelah

Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Dikirim balik dan jatuh di kuping kiri lagi
Si Toni dipotong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni diambil satu matanya yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa dengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni ingin kerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan setir kanan semua

Hai tunggu dulu, Toni ini anak saya kah
Atau anak saudara kah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda.

1977
  
Pusi karya Taufik Ismail tersebut menggambarkan apa yang terjadi pada tahunnya. Banyak makna yang bisa kita tangkap dari pusi itu. Om Didi mengajak kepada kita semua untuk menghargai karya seni. Seni tidak harus untuk dipahami melainkan untuk dinikmati. Kita mungkin tidak paham makna pusi itu, tapi membaca tiap sajaknya kita pun akan mengakui keindahan kata-kata dan kekuatan syairnya.

Pada sesi ini Om Didi lebih banyak berdiskusi kepada peserta melalui forum tanya jawab. Berbagai pertanyaan muncul mulai. Saya pun berkesempatan mengajukan pertanyaan tentang dampak televisi bagi karakter anak dan peran lembaga sensor film, serta keterkaitan antara kurikulum sekolah dan kesenian.

Satu pembicara terakhir cukup membuat saya penasaran. Karena sebelumnya saya belum pernah mendengar nama Handry Satriago. Sehari sebelum acara saya pun mencoba mencari informasi mengenai beliau melalui google. Ternyata beliau adalah CEO General Electric sebuah perusahaan milik Amerika. Yang lebih mengejutkan bahwa ternyata Bang Handry adalah orang Indonesia pertama yang memimpin GE (General Electric).

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah Bang Handry datang dengan kursi roda. Ya, kakinya lumpuh. Saya menjadi semakin tidak sabar untuk mendengar presentasi dan juga penjelasan beliau mengenai kondisi fisiknya.

Bang Handry mengatakan bahwa karakter orang Indonesia adalah sulit mengatakan TIDAK. Itulah yang menyebabkan ia dipilih sebagai CEO GE. Beliau berbeda dari orang Indonesia kebanyakan. Bang Handry menekankan pentingnya memiliki integritas pribadi. Baginya seorang pemimpin harus berani mengatakan apa yang menjadi pendapatnya. Jika setuju katakan setuju, jika tidak setuju maka katakan tidak.

Selain keberanian mengatakan tidak, ada dua karakter lain yang harus dimiliki seorang pemimpin. Yaitu kemampuan bertanya WHY dan WHY NOT. Pertanyaan WHY akan membawa seseorang untuk memahami seluk beluk sebuah persoalan maupun gagasan. WHY NOT menunjukkan bahwa pemimpin harus memiliki gagasan alternatif.

Gaya bicara Bang Handry yang santai namun berwibawa serta kadang Inggris kadang Indonesia membuat semua peserta terpukau. Ketika beliau berbicara semua diam mendengarkan. Dan setelah selesai berbicara serentak semua peserta bertepuk tangan. Bagi saya Bang Handry adalah sosok pembicara ulung.

Tak lupa beliau mengingatkan kepada kita akan pentingnya memiliki paspor dan berpetualang ke berbagai tempat baik dalam maupun luar negeri. Mengunjungi daerah orang lain yang berbeda dari daerah kita akan memperkaya sudut pandang, membuka wawasan, serta mengajarkan kearifan.

Di akhir sesi saat yang saya tunggu-tunggu pun datang. Seorang peserta mengajukan pertanyaan mengenai kondisi fisiknya. Bang Handry lalu menceritakan kisah hidup dan perjuangannya untuk bangkit dari keterpurukan. Kisah beliau bisa dibaca di sini.
 
Ketiga sosok itu, Anies Baswedan, Didi Petet, dan Handry Satriago, adalah 3 matahari yang akan terus menyinari Indonesia. Banyak ilmu dan inspirasi yang telah mereka ajarkan. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana mengkonversi inspirasi menjadi aksi, untuk Indonesia yang lebih baik.

Kamis, 06 September 2012

Kisah Inspiratif Handry Satriago

Saya bertemu beliau Sabtu lalu pada perayaan Anniversary yang ke-2 Akademi Berbagi. Tidak disangka CEO General Electric ini datang dengan kursi roda. Dengan gaya bicaranya yang khas dan sangat menarik bang Handry berbagi inspirasi kepada kami.

Seorang peserta acara mengajukan pertanyaan kepada beliau mengenai apa yang membuatnya duduk di kursi roda dan bagaimana ia melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Dengan tenang, Bang Handry menceritakan kisah hidupnya.
  
****
Sejak 17 tahun saya duduk di kursi roda. Waktu itu saya merasakan sakit di pinggang dan ternyata dokter memvonis bahwa itu adalah kanker. Teknologi medis belum maju, kemoterapi belum ada, obat belum ada. Tak lama kemudian kaki saya lumpuh. Dunia menjadi gelap. Saya mengurung diri di kamar. Saya berhenti sekolah..

Suatu ketika ayah say
a masuk dan berkata. "Nak kamu ingat dulu kita memiliki sebuah mobil kecil yang selalu mogok ketika hujan. Waktu itu kita sekeluarga sedang pergi dan jalanannya menanjak. Pas turun hujan mobil kita langsung mogok. Tidak ada pilihan bagi kita selain mendorongnya. Kalau kita tidak mendorongnya maka kita akan tetap di situ. Bahkan kalau mobil kita mundur, akan lebih sulit lagi untuk mendorongnya naik.."

"Nak, hidup ini seperti itu. Kamu tidak bisa diam saja mengurung diri di kamar. Kamu harus terus maju. Walaupun jalannya akan sangat pelan dan berat kamu harus terus mendorongnya. Karena tidak mungkin kupu-kupu yang sering kamu tangkap dulu akan datang ke kamarmu. Memintamu untuk menangkapnya. Tidak. Kamu yang harus keluar dan menangkap kupu-kupu itu."

Sejak hari itu hidup saya berubah. Saya keluar dari kamar dan berkata kepada ibu. "Bu saya mau sekolah."
****
 
Sungguh sebuah kisah yang luar biasa mengharukan dan menginspirasi. Bang Handry sudah membuktikan bahwa keterbatasan fisik tidak bisa dijadikan alasan untuk mengeluh. Bahkan beliau adalah orang Indonesia pertama yang memimpin General Electric. Kesulitan karena keterbatasan fisik memang sering beliau temui. Namun semangat dan optimisme-lah yang telah mengantarkannya meraih mimpi-mimpi dalam hidupnya.

Minggu, 26 Agustus 2012

Istri Sholehah

Kemarin saya dan teman-teman di Kelompok Studi Islam SMAN 33 bersilaturahim ke rumah guru-guru. Ada 3 rumah guru yang kami datangi. Pertama rumah ustad Ahyadi, guru bahasa arab dan agama Islam di sekolah. Kedua rumah Bu Een, guru sosiologi dan bunda kami yang paling ramah. Terakhir kami mendatangi rumah Pak Endang, guru agama Islam yang sudah lama pensiun dari sekolah kami. Saya hitung jumlah kami ada 21 orang, 10 ikhwan dan 11 akhwat. Kami berangkat dengan mengendarai motor dan sebagian lainnya dengan angkutan umum.

Nah di rumah ustad Ahyadi inilah kami mendapatkan banyak nasehat dan kisah-kisah menarik. Salah satunya tentang istri sholehah. Beliau bercerita bahwa nabi Ismail, anak dari nabi Ibrahim, memiliki seorang istri. Ketika itu nabi Ibrahim datang ke rumah Ismail dan istrinya. Kebetulan Ismail sedang tidak ada di rumah sehingga Ibrahim berbincang dengan menantunya tersebut. Ibrahim menanyakan kondisi keluarga mereka. Istrinya menceritakan dan mengeluarkan keluh kesahnya hidup bersama Ismail. Ia merasa serba kekurangan dalam hal ekonomi dan sebagainya. Akhirnya nabi Ibrahim berpesan kepada beliau, sampaikan kepada Ismail untuk mengganti pagar rumahnya.

Setelah nabi Ismail pulang, istrinya menyampaikan pesan nabi Ibrahim untuknya. Ismail bertanya kepada istrinya. Apakah kamu mengerti maksud pesan itu? Istrinya menjawab tidak. Ismail kemudian menjelaskan bahwa mengganti pagar rumah itu berarti menceraikan istrinya. Maka kemudian diceraikanlah istrinya itu.

Beberapa waktu kemudian Ismail menikah lagi dengan seorang wanita. Ketika Ismail sedang tidak di rumah, Ibrahim datang dan menanyakan kabar keluarga mereka kepada istri Ismail yang baru. Istrinya menceritakan bahwa walaupun hidup kekurangan tetapi ia bersyukur atas semua yang mereka miliki. Ia menceritakan hal-hal yang baik tentang kehidupan keluarganya. Akhirnya Ibrahim menitip pesan, katakan kepada suamimu Ismail agar jangan mengganti pagar rumahnya.

Ketika nabi Ismail pulang pesan itu disampaikan. Nabi Ismail bertanya kepada istrinya, apakah engkau memahami maksud pesan itu? Istrinya menjawab tidak. Ismail kemudian menjelaskan bahwa maksud dari jangan mengganti pagar rumah adalah agar ia mempertahankan istrinya dan tidak menceraikannya.

Itulah kisah yang kami dapat dari ustad Ahyadi. Setelah itu beliau memberikan banyak nasehat lain tentang pernikahan dan sebagainya.

Rabu, 15 Agustus 2012

Ada Bunglon di Rumah Saya

Sudah lama saya tidak melihat bunglon. Binatang yang mirip kadal ini punya keunikan sendiri. Ia bisa merubah warna badannya sesuai tempat yang ditempelinya. Kalau menempel di daun ia bisa berwarna hijau. Tapi kalau di kayu ia bisa tiba-tiba menjadi cokelat.

Pagi ini saya melihat binatang unik itu. Ia menempel di pohon lengkeng di rumah saya. Bukan cuma sekali ini saya m
elihatnya. Lima hari yang lalu saya juga melihatnya bersembunyi di pohon anggur yang baru saja ditanam oleh bapak saya.

Bunglon ini menarik perhatian saya bukan cuma karena keunikannya merubah warna tetapi lebih karena sudah bertahun-tahun lamanya saya tidak melihat bunglon. Terakhir mungkin ketika saya SMA. Dulu jangankan bunglon, cicak terbang saja yang kemudian saya ketahui sebagai binatang langka, berkeliaran di rumah saya. Mereka menempel di tembok belakang rumah saya dan melompat kesana kemari. Bentuknya sangat mirip cicak. Tapi mereka punya sayap berwarna kuning yang menempel di lengannya.

Bunglon itu memang masih ada. Tapi cicak terbang itu sepenuhnya sudah punah. Kepunahan itu saya yakini karena berubahnya kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Dulu pepohonan di sini sangat banyak. Tapi sekarang populasinya sudah sangat berkurang.

Jadi antara bunglon, cicak terbang, dan rumah saya itu ada ikatan yang sangat kuat. Yang karena perilaku saya dan teman-teman saya sesama manusia, hewan-hewan unik itu tersingkir bahkan punah seutuhnya.

Senin, 30 Juli 2012

Izinkan Aku Menjadi Guru

Kisah ini adalah pengalaman pertamaku mengajar di sekolah. Menjadi guru bagi setiap anak, yang dari tatapan matanya memancar sebuah ungkapan, “Bapak, aku ingin belajar!”

November 2011. Hp berbunyi, pesan itu masuk. Sebuah pesan yang menjadi awal dari semua cerita. Awal yang menentukan dan memberi banyak makna kehidupan. Aku membuka pesan itu. Pengirimnya adalah adik kelas yang menjadi rekan seperjuangan di organisasi kampus. “Aslmkm.. Kak, sekolah lg bth guru matematika. Kakak mau?”

Sejak 2 bulan yang lalu aku memang berniat menjadi guru di sekolah. Walaupun masih berstatus sebagai mahasiswa yang harus segera menyelesaikan studi, keinginanku itu rasanya terus mendorongku untuk sejenak mengabaikan tugas kuliah. Niatku hanya didasari 1 alasan, aku ingin segera mempraktekkan ilmu yang sudah aku dapatkan.

Setelah berpikir beberapa saat, aku merespon sms itu. Hatiku tertegun ketika adik kelasku mengatakan bahwa sekolah itu sudah 2 bulan tidak memiliki guru matematika. Masya Allah. Perasaan sedih dan bingung menjalari tubuhku. Bagaimana mungkin sebuah sekolah di Jakarta Pusat, inti dari sebuah negara luas bernama Indonesia, tidak memiliki seorangpun guru matematika? Bagaimana nasib anak-anak yang belajar di sana?

Aku memutuskan untuk menjadi guru di sekolah itu. Setelah membuat janji pertemuan dengan kepala sekolah, keesokan harinya aku datang menemuinya. Sumpek, kumuh, dan kotor. Itulah kesan yang aku tangkap ketika pertama kali melihat sekolah itu. Aku melihat ruang guru yang tidak terawat. Banyak tumpukan kardus di sana-sini, debu, galon air yang maaf menjijikkan, dan nyamuk. Suasana seperti ini memang sepantasnya dihuni oleh nyamuk. Ya Allah, inikah sekolahku?

Ketika dipertemukan dengan pihak yayasan, aku dijelaskan tentang jadwal mengajar dan perhitungan gaji yang diberikan. Seketika itu aku teringat sebuah ungkapan, gaji sebulan untuk seminggu. Akhirnya aku mengatakan kepada beliau, “Bu, saya di sini tidak mencari uang. Insya Allah saya ingin mengajar di sini. Untuk pengalaman dan pengabdian.”

Menjadi guru di sekolah tidak selalu berarti menjadi guru bagi anak-anak. Itu yang aku yakini. Apalah artinya jika keberadaan seorang guru di sekolah tidak diterima oleh anak-anaknya? Menjadi guru harus direbut dan diperjuangkan. Direbut dari hati anak-anak. Diperjuangkan dengan berbagai strategi dan metode mengajar yang menarik. Maka setelah aku diterima menjadi guru di sekolah itu, aku langsung menyusun strategi merebut dan memperjuangkan hati anak-anak. Aku mengatakan dalam hati, “Izinkan bapak menjadi guru kalian, nak.”

Januari 2012. Semester baru datang. Menyambut setiap anak yang datang ke sekolah. Liburan telah memberiku waktu untuk mempersiapkan segalanya. Hari ini adalah hari pertamaku mengajar di kelas. Aku berjanji akan merebut dan memperjuangkannya.

“Assalamu’alaikum. Nama saya Hafiz Farihi. Kalian boleh panggil saya Pak Hafiz. Bapak adalah guru matematika kalian yang baru.” Aku mengedarkan pandangan ke setiap anak, menatap sesaat mata mereka. Ingatan bahwa sudah beberapa bulan mereka sekolah tanpa guru matematika membuatku bersemangat untuk mendidik mereka. Aku menciptakan suasana yang santai dan bersahabat dengan harapan anak-anak itu mau menerimaku sebagai gurunya.

“Siapa yang suka main bola?” Beberapa anak laki-laki mengangkat tangan dengan antusias. “Siapa yang suka main basket?” Beberapa anak perempuan juga mengangkatkan tangan. “Kalian tahu apa yang biasanya dilakukan tim sepak bola dan tim basket sebelum bertanding?” Seorang anak menjawab, “Latihan pak.” “Iya betul. Apa lagi yang dilakukan oleh mereka?” “Berdoa pak.” “Nah, tepat berdoa. Kalian pasti tahu biasanya mereka berkumpul membentuk sebuah lingkaran, kemudian berdoa, dan setelah itu mereka berteriak menyebutkan nama tim mereka seperti ini.” Aku mencontohkan dengan gerakan sambil berteriak seperti anggota tim bola dan basket. Anak-anak tertawa.

“Kalian tahu mengapa mereka melakukan itu? Karena itu bisa membuat mereka semangat. Dan semangat itu yang akan membuat mereka menang.” Anak-anak mendengarkan setiap ucapanku. “Nah, bapak ingin kita juga semangat untuk belajar. Jadi kalau bapak bilang Salam Semangaaat. Kalian jawab Ayo Ayo Ayo, Hu!” Seisi kelas tertawa lagi. Aku senang, tertawa adalah salah satu tanda bahwa mereka nyaman. Aku merasa yakin mereka bisa menerimaku sebagai seorang guru. “Pakai gerakan tangan ya biar lebih semangat. Ayo semuanya berdiri.” Serentak anak-anak berdiri sambil tersenyum. “Salam semangaaat.” “Ayo ayo ayo, Hu!”

Waktu berjalan begitu cepat. Kehadiranku di sekolah sudah terhitung beberapa bulan. Aku bahagia mengajar di sekolah itu. Anak-anak juga tampaknya senang dengan kehadiranku. Mereka selalu menyapa, tersenyum, dan mencium tanganku setiap kali berpapasan. Mereka curhat dan bercerita banyak hal kepadaku. Tentang teman-temannya, tentang gurunya, bahkan tentang keluarganya. Saat itu aku bersyukur. Ya Allah, aku sudah menjadi guru.

Kamis, 05 Juli 2012

23 Episentrum: Sebuah Catatan

Jika ada yang bertanya apa passion saya. Saya jawab pendidikan. Walaupun kuliah di program studi pendidikan matematika, saya menyadari bahwa kecintaan saya terhadap pendidikan jauh melebihi kecintaan saya terhadap matematika. Saya menemukan rasa itu sejak bergabung di Education Watch, sebuah organisasi kecil di kampus yang fokus pada pengkajian isu-isu pendidikan nasional. Dulu, saya merasa dunia pendidikan baik-baik saja, tapi di sini saya menemukan banyak keganjilan. Banyak permasalahan di dunia pendidikan yang harus segera diselesaikan.

Sebenarnya antara jalur kuliah dengan passion saya, tidak terlalu jauh penyimpangannya. Saya memang akan menjadi guru nantinya. Lebih tepatnya guru matematika. Namun saya merasa tetap saja ada yang kurang sesuai. Hal ini terkait dengan pilihan saya untuk program S2 nantinya. Terkait juga dengan pilihan karir nantinya. Apakah setia dengan matematika ataukah mengikuti keinginan hati di pendidikan?

Buku 23 Episentrum membantu menjawab semua kegelisahan itu.

Saya bertemu dengan Adenita, penulis 23 Episentrum, dalam sebuah konferensi nasional pendidik muda di Jakarta. Adenita menjadi salah satu pembicara yang tampil pada hari pertama dari rangkaian dua hari acara. Adenita mengajarkan saya akan makna sebuah passion. Tentang pentingnya menghadirkan hati dalam sebuah profesi. Adenita berkata, "Hati yang penuh cinta akan mendorong siapa pun untuk melakukan yang terbaik dalam bidang pekerjaannya. Sesuatu yang dilakukan dengan hati akan selalu menghasilkan energi yang tidak pernah mati. Profesi dibungkus cinta, lahirlah mahakarya." Saya semakin yakin akan pilihan hidup saya.

Semua kisah itu ia tuangkan dalam sebuah buku 2 in 1 berjudul 23 Episentrum. Buku yang terdiri dari novel dan suplemen. Novel adalah kisah fiksi. Sementara suplemen adalah kisah nyata. Lengkap sudah. Setelah terbawa melayang-layang dalam imajinasi novel, suplemen membawa kita kembali berpijak pada tanah. Adenita membuktikan bahwa orang-orang yang menjalani profesi atas pilihan hati yang sebenarnya tidak sesuai dengan latar belakangnya, benar-benar ada dan nyata.

Novel 23 Episentrum bercerita tentang perjalanan 3 anak muda, Matari, Awan, dan Prama untuk mengejar profesi yang dicintainya. Profesi yang tidak hanya memberikan keuntungan materi namun juga kebahagiaan hati. Mereka selalu yakin akan kekuatan mimpi. Mereka yakin bahwa kebahagiaan bukanlah terletak pada banyaknya harta kekayaan, melainkan pada kepuasan hati.

Matari adalah seorang wanita yang bermimpi menjadi news anchor atau pembawa berita di sebuah stasiun televisi. Demi mengejar mimpinya ia nekat kuliah. Walaupun untuk membiayai kuliahnya itu harus utang sana utang sini. Totalnya sangat besar, dan semua itu harus ia bayar setelah lulus kuliah. Maka kehidupannya setelah kuliah adalah bekerja, dengan satu tujuan: melunasi utang. Ia pun masuk ke kondisi dilematis antara mengejar mimpinya menjadi news anchor atau mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar, agar tidak terus menerus dibayangi hutang.

Awan, pria jago matematika yang bekerja sebagai pegawai bank. Namun ternyata Awan tidak merasa bahagia. Walaupun uang cukup ia merasa bankir bukan jalan hidupnya. Akhirnya ia memilih berhenti dan mengejar mimpinya menjadi tukang cerita. Membuat cerita skenario untuk sebuah film.

Ada 3 kata untuk mengungkapkan seorang Prama: kaya, baik, dan ganteng. Ia bekerja di perusahaan minyak internasional. Bolak-balik ke berbagai negara untuk mengerjakan proyek-proyek besar. Namun dalam limpahan harta yang dimilikinya, hatinya merasa sepi. Akhirnya ia melakukan perjalanan hati. Dari situ ia belajar banyak hal. Prama merasa kini hari-harinya lebih bermakna.

23 Episentrum adalah buku yang mampu menumbuhkan keyakinan bahwa mimpi harus selalu diperjuangkan. Betapa pun besarnya penolakan dari keluarga, lingkungan, bahkan keraguan pribadi, mimpi harus terus hidup dan dihidupkan. Passion harus ditemukan. Karena passion lah seseorang tahu harus melangkah ke mana. Passion yang menuntun seseorang untuk menghadirkan hati dalam tiap pekerjaannya. Karena sesungguhnya kebahagiaan terletak bukan pada materi melainkan hati.

#Selamat membaca.. :D

Rabu, 27 Juni 2012

Matinya Hati Nurani

Tadi pagi ketika berangkat ke sekolah saya menyaksikan sekumpulan manusia yang mati hati nuraninya. Sekumpulan manusia yang tidak peka, tidak peduli, dan sepertinya tidak punya rasa kemanusiaan. Sehingga sepanjang jalan itu saya kesal. Hati saya panas. Saya ingin bertindak tapi tidak mampu melakukan apa-apa. Saya hanya bisa melihatnya dengan perasaan yang tersiksa.

Saya berangkat dari Tangerang pukul 9 dengan mengendarai motor. Melewati jalan Daan Mogot mengarah ke Cikini Jakarta Pusat. Tepat di depan shelter Dispenda saya mendengar suara sirine yang datangnya dari arah belakang. Suara itu semakin lama terdengar semakin keras. Cukup keras sehingga orang-orang yang sedang duduk di teras tokonya keluar dan melihat apa yang terjadi.

Ternyata suara sirine itu berasal dari sebuah mobil pemadam kebakaran. Di belakang mobil itu ada dua mobil besar pemadam kebakaran yang juga sesekali menyalakan sirinenya. Ketiga mobil itu berjalan beriringan di jalur busway. Saya segera melihat ke arah langit di sekitar saya, sambil terus mengendarai motor, mencari sekiranya ada asap hitam yang mengepul tanda terjadinya kebakaran. Tetapi saya tidak menemukannya. Mungkin kebakarannya terjadi di arah sebaliknya, daerah Tangerang.

Mengenai kenapa jalur busway yang dipilih ketiga mobil itu saya bisa memahaminya. Mereka harus segera sampai di lokasi kebakaran. Karena jika tidak kerugian pasti akan semakin bertambah. Bahkan mungkin juga kebakaran itu telah menyebabkan beberapa orang meninggal. Mereka harus segera tiba di lokasi. Mereka harus segera menyelamatkan banyak nyawa.

Masalahnya, sama seperti kendaraan-kendaraan lainnya, ketiga mobil pemadam kebakaran itu terjebak di kemacetan kota Jakarta. Bahkan jalur busway yang dilaluinya pun tidak lepas dari kemacetan. Itulah yang membuat hati saya tersiksa sepanjang jalan. Orang-orang itu mendengar suara sirine, orang-orang itu tahu ada mobil pemadam kebakaran di belakang mereka. Tapi mereka seperti tidak peduli. Mereka, yang kebanyakan pengendara motor, tetap mengambil jalur busway. Tidak berusaha menepi untuk memberikan jalan bagi mobil pemadam. Hati saya tersiksa. Sekumpulan manusia itu telah mati hati nuraninya.

Peran Pendidikan

Permasalahan ini memberikan tanda tanya besar bagi dunia pendidikan yang selama ini berlangsung. Apakah pendidikan sudah menyentuh unsur-unsur pembentukan kepedulian sosial pada diri siswa? Apakah pendidikan sudah membentuk manusia-manusia yang memiliki kepekaan nurani? Jika semua itu tidak ada, apalah artinya pendidikan jika hanya mencetak manusia-manusia yang sekedar mengejar angka-angka di atas kertas, tapi lemah secara moral?

Saya teringat pada kata-kata yang ditulis Ayah Edy, praktisi multiple intelligence dan holistic learning, bahwa para guru di Australia jauh lebih khawatir jika anak-anak murid mereka tidak mau mengantri, menyeberang jalan dengan benar, berkata dengan jujur, mengelola sampah dengan baik, berbicara dengan santun, berempati, peduli terhadap teman dan lingkungan serta berpikir kritis terhadap hal-hal yang merusak atau menggangu, ketimbang jika anak kelas lima mereka tidak menguasai matematika dan pelajaran akademis lainnya. Hal-hal seperti itu lebih mereka utamakan karena mereka mengatakan bahwa kita hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa matematika, namun diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa membuat seorang anak mampu berempati, peduli teman dan lingkungan serta memiliki karakter yang mulia untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Pendidikan seharusnya lebih diarahkan untuk mendidik hati daripada otak. Rasulullah saw pernah bersabda, "Ketahuilah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi bila rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)

Manusia yang dididik menjadi pintar tapi moralnya rusak hanya akan menjadi penjahat yang cerdas. Sedangkan manusia yang dididik moralnya akan bermanfaat di manapun ia berada. Jika ia pintar ia akan membawa kebaikan bagi sekitarnya. Namun jika ia tidak pintar pun setidaknya ia tidak menjadi ancaman bagi lingkungan sekitarnya.

Sudah saatnya bagi kita untuk merenungkan kembali hakikat pendidikan yang kita jalankan selama ini. Jangan sampai kita membidani kelahiran sebuah generasi yang mati hati nuraninya.

Minggu, 24 Juni 2012

Sumpah, Saya Harus Ikut IYC!

Sejak SMP sampai sekarang saya aktif di dunia organisasi..

Di SMP saya gabung ke OSIS. Sebenarnya, masuk OSIS itu awalnya bukan keinginan pribadi. Tapi lebih karena ditunjuk. Soalnya saya yang waktu itu emang masih polos banget :D tiba-tiba dipanggil ke sebuah ruangan dan diminta menyampaikan visi misi. Lah? Kenal OSIS aja enggak malah diminta visi misi. Jadilah saya ngomong apa aja yang bisa saya omongin. Eh guru-guru dan peserta sidang (serius banget kayaknya) malah milih saya buat mimpin itu OSIS. Ya, saya terima aja..

Tapi dari pengalaman itu justru saya bersyukur banget. Saya jadi cinta sama dunia organisasi. Di SMA saya gabung ke Kelompok Studi Islam. Nah di kampus dunia organisasi saya jauh lebih berkembang lagi. Saya pernah gabung ke BEMJ Matematika. Terus ke Education Watch yang sekali lagi harus memimpin organisasi ini karena memang ditunjuk. Baru setelah itu saya gabung ke BEM UNJ..

Bagi saya, organisasi adalah hidup saya. Kalo ga gabung ke organisasi rasanya ada yang aneh gimana gitu..

Mata saya jauh lebih terbuka ketika pada awal Juni yang lalu saya lolos seleksi sebagai peserta National Future Educators Conference (NFEC) yang diadakan di Jakarta. Seratus pemuda se-Indonesia berkumpul selama 2 hari. Berdiskusi dan saling berbagi inspirasi tentang pendidikan Indonesia. Di sana saya bertemu dengan kawan-kawan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Luar biasa. Semangat mereka yang berkobar, optimisme, dan aktivitas yang mereka lakukan berhasil menembus mata hati saya. Menaburkan berjuta tanda tanya untuk saya jawab, "Apa yang sudah saya lakukan untuk Indonesia?"

Dari konferensi itu juga saya jadi tau banyak event tingkat nasional dan internasional. Seorang teman baru saya di NFEC mengajak saya untuk ikutan IYC. Katanya begini, "Abang, nanti ikut IYC ya? Biar kita bisa reunian lagi." Dari dia juga saya akhirnya tau siapa itu Alanda Kariza. Saya jadi tau bahwa Alanda Kariza nulis buku yang judulnya Dream Catcher. Dan saya juga jadi tahu bahwa IYC itu digagas oleh Alanda Kariza. Saya sampe nyari bukunya di toko buku dan sedikit baca tentang kisah-kisahnya ketika pertama kali mengadakan IYC. Luar biasa banget :D

Saya yakin, pemuda punya peran besar sebagai agen perubahan. Pemuda punya idealisme tingkat tinggi, optimisme, dan semangat yang terus menyala-nyala. Bayangkan apa yang akan terjadi jika ratusan pemuda se-Indonesia berkumpul dan saling berbagi untuk menjawab segala permasalahan bangsa. Bung Karno saja hanya butuh 10 orang pemuda untuk mengguncang dunia. Maka ratusan pemuda itu akan jauh lebih mampu mengguncang dunia. Bahkan mungkin guncangannya akan terasa juga ke akhirat :D

Saya ingin bertemu dengan pemuda-pemuda itu. Saya ingin belajar banyak dari materi yang diberikan di IYC. Saya ingin berkontribusi untuk Indonesia. Karena prinsip saya, "Manusia terbaik di dunia adalah mereka yang bermanfaat untuk sesama." Ya, saya ingin keberadaan saya di dunia bermanfaat untuk Indonesia..

HIDUPLAH INDONESIA RAYA ...!!!


(Tulisan ini diikutsertakan dalam sebuah kuis dan berhasil memenangkan 1 buah tiket acara Festival Indonesian Youth Conference 2012)

Minggu, 17 Juni 2012

Meraba Indonesia Lebih Dekat


Sejak dulu saya bermimpi keliling Indonesia minimal ke lima pulau besar: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Untuk saat ini mimpi tersebut memang belum menjadi kenyataan. Namun saya selalu percaya akan kekuatan sebuah mimpi. Saya yakin suatu saat nanti saya pasti mampu mewujudkannya, entah bagaimana caranya.

Allah maha mendengar, saya merasa diberikan jalan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Pada 28 Mei yang lalu saya berhasil lolos seleksi sebagai peserta NFEC (National Future Educators Conference) 2012. Saya melihat daftar peserta yang lolos dan ternyata, wah, benar-benar se-Indonesia.

Acara tersebut dilaksanakan pada 9 dan 10 Juni lalu di Sampoerna School of Education, Jakarta. Saya bertemu dengan 120 pemuda-pemudi yang berasal dari Aceh, Padang, Bengkulu, Makasar, Nusa Tenggara, Bali, Papua, dan juga Jawa.  Acara itu sendiri bertujuan membangkitkan semangat perubahan di bidang pendidikan. Semangat untuk membangun kepedulian pemuda terhadap pendidikan Indonesia. Di sana saya mendapat banyak teman baru, keluarga baru. Mimpi itu pun terlihat semakin nyata.

Jalan itu semakin terasa kuat ketika pada sesi parallel di hari kedua, saya mendapat hadiah buku dari seorang pembicara bernama Dhitta Puti Sarasvati. Buku yang berjudul "Meraba Indonesia" itu menceritakan perjalanan dua orang jurnalis 'gila' yang melakukan ekspedisi keliling Indonesia dengan mengendarai motor bekas 100cc. Mereka menamakannya Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Dibutuhkan waktu selama 1 tahun untuk mengelilingi Indonesia. Dimulai pada Juni 2009 sampai Mei 2010. Sementara buku tersebut diterbitkan pada Juli 2011. Mimpi itu sekali lagi, terlihat semakin nyata.

Sekarang saya masih membaca buku tersebut. Walaupun belum bisa 'meraba' dan melihat secara langsung Indonesia dari dekat, setidaknya saya bisa terlebih dahulu merasakan bagaimana rasanya berada di Selat Malaka bertemu dengan bajak laut, bagaimana rasanya menyusuri jalan-jalan di Aceh, dan bagaimana rasanya menyaksikan Pulau Sabang sebagai garda terdepan Republik Indonesia ditelantarkan begitu saja.

Semoga saya bisa segera 'meraba' Indonesia.
Terimakasih panitia NFEC 2012, terimakasih bu Dhitta Puti Sarasvati.

Rabu, 30 Mei 2012

Esai NFEC 2012




Tanggal 28 Mei 2012 menjadi hari yang membahagiakan. Karena di hari itu saya dinyatakan lolos seleksi menjadi peserta NFEC 2012. Apa itu NFEC 2012? NFEC 2012 adalah singkatan dari National Future Educators Conference 2012. Ini adalah wadah untuk para generasi muda yang memiliki hati di dunia pendidikan untuk berkumpul, berbagi, menginspirasi serta membangun jaringan dalam upaya memajukan bangsa lewat aksi pendidikan.

Tema NFEC 2012 adalah “Inspiring Youth: Reshaping the Nation’s Future through Education”. Kami percaya pendidikan mampu memperbaharui masa depan bangsa Indonesia dari apa yang dipandang orang banyak saat ini. Bukan hanya tambahan pengetahuan dalam bidang pendidikan saja yang akan dibagi di acara ini, namun juga keterampilan dan jaringan pendidik muda yang tentu akan sangat bermanfaat. Rangkaian kegiatan NFEC ini terdiri dari parallel session, plenary session, workshop, diskusi kelompok dan malam keakraban.

Untuk mengikuti program ini hanya perlu mengisi formulir pendaftaran yang berisi beberapa pertanyaan berupa identitas peserta, pemilihan tema conference, dan esai. Nah sekedar untuk berbagi dan memberi gambaran terhadap pertanyaan esai, berikut ini saya share jawaban saya terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pertanyaan Esai

1. Apa yang Anda ketahui mengenai educator/ pendidik?

Jawaban:
Pendidik adalah seniman tingkat tinggi. Pekerjaan lain mungkin berhadapan dengan komputer yang statis, namun pendidik berhadapan dengan manusia, makhluk dinamis yang unik dan berbeda tiap individunya. Menjadi pendidik berarti menjadi manusia yang tidak pernah berhenti belajar. Seorang pendidik harus menguasai ilmu kependidikan, manajemen kelas, psikologi anak, dan memiliki kemampuan sebagai seorang trainer serta motivator. Pendidik bukan hanya bertugas mentransfer ilmu, lebih dari itu ia adalah sumber keteladanan yang bertugas menjadikan setiap anak didiknya berkarakter baik dan berdaya juang tinggi. Pendidik mengemban misi negara: mencerdaskan kehidupan bangsa. Di tangannya masa depan bangsa dipertaruhkan. Seperti ungkapan guru dalam bahasa Sansekerta, pendidik adalah pelita dalam kegelapan.

2. Apa yang memotivasi Anda untuk bergabung dalam acara ini?

Jawaban:
Acara ini mengumpulkan para pendidik muda dari seluruh penjuru Indonesia. Saya ingin bertemu dengan mereka semua, berbagi pengalaman, sharing keprihatinan terhadap dunia pendidikan, dan bersama-sama membangun pendidikan untuk Indonesia yang lebih baik. Saya yakin semangat perubahan akan mudah menular jika berada di lingkungan yang mendorong perubahan. Saya ingin menggali ilmu dari seminar dan workshop yang diadakan. Acara ini juga tidak hanya sebatas seminar dan workshop tapi juga memiliki forum berkelanjutan dengan Youth ESN-nya. Saya tertarik bergabung dengan forum tersebut agar bisa melakukan langkah konkret perubahan.

3. Apa yang Anda harapkan dari acara ini?

Jawaban:
Pemuda selalu memegang peran penting sebagai agent of change sebuah bangsa. Dengan adanya wadah pemuda yang fokus dalam bidang pendidikan, saya berharap pendidikan Indonesia bisa keluar dari krisis yang selama ini dialaminya. Gerakan-gerakan yang nantinya dilakukan oleh Youth ESN tentunya akan menjawab berbagai keprihatinan masyarakat, menyelesaikan satu demi satu permasalahan pendidikan, membangun optimisme, dan menyebarkan kebaikan. Sehingga apabila satu lilin sudah menyala maka lilin yang lain pun akan mudah untuk dinyalakan. Kebaikan itu seperti virus yang menular. Ia akan mendorong orang lain untuk juga melakukan kebaikan. Apabila semua elemen pemuda sadar akan pentingnya gerakan perbaikan pendidikan, maka cita-cita Indonesia maju dan sejahtera hanyalah tinggal urusan waktu.

4. Bersediakah Anda untuk tetap ikut berpartisipasi aktif dalam jaringan Youth Educator Sharing Network? Jelaskan alasan Anda.

Jawaban:
Saya terlahir dari organisasi yang fokus dalam mengkaji permasalahan pendidikan Indonesia. Saya akan sangat bahagia apabila bisa bergabung dalam Youth ESN. Mimpi-mimpi saya untuk bergabung pada sebuah organisasi berskala nasional terjawab dalam forum ini. Saya ingin melakukan banyak hal untuk pendidikan Indonesia. Saya juga sedang mempersiapkan sebuah gerakan perubahan di lingkungan tempat saya tinggal. Saya yakin dengan bergabung dalam Youth ESN maka visi saya akan lebih mudah tercapai karena mendapat dukungan dari rekan-rekan yang memiliki kesamaan visi.