Senin, 05 Desember 2011

Puisi : ''Kapan Sekolah Kami Lebih Baik Dari Kandang Ayam''


Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah
Tanpa sebuah kemunafikan, semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan
Tetapi dunianya ternyata tuli
Setuli batu
Tidak berhati
Otonominya, kompetensinya, profesinya hanya sepuhan pembungkus rasa getir

Bolehkan kami bertanya
Apakah artinya bertugas mulia ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa?

Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?

Ketika semua orang menangis, kenapa kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan, kami harus tetap kelaparan?

Bolehkah kami bermimpi di dengar ketika berbicara?
Dihargai layaknya manusia?
Tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap dalam kondisi terburuk.

Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah
Terbaca torehan darah kering

Di sini berbaring seorang guru
Semampu membaca buku usang
Sambil belajar menahan lapar
Hidup sebulan dengan gaji sehari

Itulah nisan tua sejuta guru tua yang terlupakan oleh sejarah


Itulah puisi Prof Dr Winarno Surakhmad, pakar pendidikan dan mantan Rektor IKIP Jakarta, yang disambut dengan kegusaran oleh Wapres Jusuf Kalla.

Ketika itu, pada peringatan Hari Guru Nasional di Solo Jawa Tengah, 27 Nov 2005, pria yang kini sudah berusia 80 tahun itu membacakan puisinya. Di akhir tiap baitnya, belasan ribu guru merespon dengan tepuk tangan dan linangan air mata. Akan tetapi Jusuf Kalla malah berang dan tidak menerima puisi tersebut.

Memang realitas tidak berpihak pada suara hati para guru. Guru-guru yang mengabdi di daerah pedalaman hanya bisa berteriak dalam hati. Guru-guru honorer mungkin hanya bisa meratapi nasibnya yang malang. Jika dengan puisi saja kami tidak didengar, apakah semua guru harus demo turun ke jalan hanya untuk menuntut kesejahteraan? Apakah kami harus meninggalkan anak-anak kami di sekolah, hanya untuk meminta keadilan? Kami tidak minta gaji seperti anggota DPR, kami hanya minta bisa menyekolahkan anak dan bisa membeli buku. Apa itu salah?

Bukankah seharusnya para birokrat mendengar jeritan kami. Kami memang ikhlas mengajar dan mendidik, tapi bukan berarti kami tidak berhak merasakan hidup nyaman.

Begitulah, nasib pendidikan kita, nasib guru dan sekolah kita. Padahal di pundak para gurulah cita-cita kemajuan bangsa dibebankan. Padahal hanya dengan pendidikanlah kita bisa membangun bangsa. Jika ini yang terjadi, angan untuk mengangkat derajat bangsa di mata dunia hanyalah akan menjadi fatamorgana..

1 komentar: