Senin, 05 Desember 2011

UJIAN NASIONAL: Sebuah Tragedi Pendidikan

Ketika pro dan kontra merebak dengan kecenderungan menolak ujian nasional, pemerintah tetap ngotot melaksanakannya. Suara-suara penolakan dari pelajar, mahasiswa, pendidik, pakar pendidikan, bahkan keputusan hukum Mahkamah Agung pun tidak mampu menghentikan Ujian Nasional yang menyesatkan itu. Logika pendidikan tidak lagi berlaku, logika politiklah yang berkuasa. Pada titik ini, arogansi pemerintah sudah mencapai batasnya. Suara-suara aktivis yang merindukan perbaikan di negeri ini telah dikubur dalam-dalam. Sungguh kenyataan yang sangat tragis!

Ujian nasional yang diharapkan mampu meningkatan mutu pendidikan hanya akan menjadi sebuah ilusi. Pasalnya, kondisi sekolah di Indonesia baik itu sarana prasarana, kualitas guru, dan akses informasi masih jauh dari standar. Apakah adil menguji siswa di Jakarta dengan siswa di pedalaman Papua yang memiliki fasilitas berbeda tetapi dengan bobot soal yang sama dan juga patokan kelulusan yang sama? Tidak heran jika jumlah siswa yang tidak lulus sangat mengejutkan. Belum lagi jika dilihat dari perspektif kemiskinan, faktor kecukupan gizi, dan keadaan lingkungan. Untuk menyiasatinya, dibentuklah “Tim Sukses” di berbagai sekolah. Sehingga apabila dicermati, kecurangan dalam UN bukanlah kecurangan yang sifatnya kasuistik melainkan sudah bermetamorfosa menjadi kecurangan yang tersistematis. Jika ini sudah terjadi, semua pihak kemudian sibuk mencari siapa yang pantas dijadikan kambing hitam. Siswa, guru, dan orangtua yang hanya berperan sebagai wayang dalam skenario ini tiba-tiba menjadi tertuduh.

Fungsi UN sebagai pemetaan mutu pendidikan dan sebagai dasar pembinaan serta pemberian bantuan (PP No. 19 tahun 2005 pasal 68) tidak dijalankan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang kelulusannya ataupun nilainya memprihatinkan? Tidak ada. Selama ini pemerintah cenderung hanya menuntut hasil kelulusan yang baik. Pembahasan-pembahasan di Depdiknas dan BSNP malah berkutat pada hal-hal teknis masalah bagaimana pendistribusian soal yang baik, bagaimana pengawasan yang ketat, dan berapa patokan nilai UN tahun depan.

Prof.Dr. Soedijarto, M.A. (pakar pendidikan dan guru besar UNJ) menilai bahwa UN model ini tidak akan mampu meningkatkan mutu pendidikan dan juga etos kerja. Lebih jauh, UN telah mengaburkan makna pendidikan menjadi sebatas persiapan lulus ujian. UN yang hanya berisi soal-soal pilihan ganda dengan penekanan pada kemampuan hafalan siswa tidak akan banyak membantu meningkatkan mutu, malah akan merusak proses pendidikan yang hakiki.

Oleh karena itu menurutnya, Amerika Serikat dan Jerman tidak mengenal ujian nasional untuk memilih dan memilah. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
  1. Menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik;
  2. Menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
  3. Menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar;
  4. Evaluai yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif.

Senada dengan Prof. Soedijarto, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung patut diacungi jempol. Salah satu pointnya memerintahkan bahwa pemerintah harus meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut. Memang tidak ada perintah untuk menghentikan UN sesuai dengan tafsiran Mendiknas Muh Nuh. Akan tetapi kata “sebelum” mampu kita pahami secara jelas maknanya tanpa memerlukan analisa bahasa tingkat tinggi.

Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep yang salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak bangsa akan terbunuh sebelum mati. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratrofi oleh UN. Kalau ini bukan tragedi pendidikan, lalu apa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar