Pendahuluan
Kontroversi dan silang pendapat
tentang kebijakan Ujian Nasional hingga saat ini masih terus berlangsung. Sebagian
kalangan menilai bahwa Ujian Nasional perlu tetap dipertahankan dengan model
yang saat ini sedang berlaku. Kalangan lain berpendapat bahwa kebijakan ini
tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem pendidikan nasional. Sementara
kalangan lain juga memiliki pendapat berbeda, yaitu menolak Ujian Nasional
sebagai penentu kelulusan, sementara fungsinya yang lain masih boleh
dipertahankan. Ketiga perbedaan pendapat tersebut tentunya dilandasi oleh
argumen yang diyakininya masing-masing.
Jika kita melihat kembali sejarah
perjalanan sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal evaluasi, Indonesia
sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi yang berganti-ganti dari masa ke
masa. Pada tahun 1950-1960-an Indonesia menerapkan Ujian
Penghabisan. Tahun 1965-1971 menjadi Ujian Negara. Kemudian tahun 1972-1979
ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun 1980-2000 dilakukan Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional. Baru pada tahun 2001-2004 berlaku Ujian Akhir
Nasional yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama menjadi Ujian Nasional.
Kebijakan Ujian Nasional
untuk tahun 2011 ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini
terdapat porsi 60-40. Maksudnya kelulusan peserta didik ditentukan dari 60%
nilai ujian nasional dikombinasikan dengan 40% nilai sekolah. Nilai sekolah
yaitu gabungan nilai ujian akhir sekolah dan nilai rata-rata rapor dari
semester 1-5 untuk SMP/MTs/SMPLB dan semester 3-5 untuk siswa SMA/MA/SMK. Bobot
untuk nilai sekolah adalah 60% nilai ujian sekolah dan 40% nilai rata-rata
rapor. Perbedaan lain juga yaitu tidak adanya ujian ulangan untuk tahun ini dan
pemberlakuan 5 paket soal dalam satu ruangan.
Perlu dipahami bahwa tujuan
pemerintah melaksanakan ujian nasional antara lain untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi serta untuk memetakan
tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah. Sementara
fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan agar tercipta SDM yang
mampu bersaing secara global.
Berdasarkan
uraian di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: (1) Apakah Ujian
Nasional sesuai dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan menurut UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003? Apakah ujian nasional mampu meningkatkan mutu
pendidikan? Bagaimanakah sikap BEM UNJ terhadap kebijakan ujian nasional?
Apakah rekomendasi BEM UNJ untuk memperbaiki pendidikan nasional dipandang dari
kebijakan ujian nasional?
Landasan
Kebijakan dan Fungsi Ujian Nasional
Di dalam buku Tanya Jawab UN
2011 yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa landasan
pelaksanaan kebijakan ujian nasional terdapat pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2) tertulis “Evaluasi
peserta didik, satuan pendidikan, dan
program pendidikan dilakukan oleh lembaga
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan,
dan sistemik untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan”.
Ketentuan di atas pada
dasarnya bertentangan dengan pasal sebelumnya, yaitu pasal 58 ayat (1)
menyatakan “Evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkesinambungan.”
Dalam ayat (1) sudah jelas
dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh pendidik. Pendidik yang dimaksud di
sini adalah guru. Dan yang dievaluasi adalah hasil belajar peserta didik. Artinya
perkembangan peserta didik selama belajar sekolah itu dinilai dan dievaluasi
oleh gurunya sendiri yang mengajarnya di kelas. Sementara pada ayat selanjutnya
yakni ayat (2), yang dimaksud dengan evaluasi peserta didik di sini bukanlah
untuk menentukan lulus tidak lulusnya peserta didik dari satuan pendidikan.
Akan tetapi untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Landasan
lain yang dikemukakan oleh pemerintah dalam buku Tanya Jawab UN 2011 adalah
mengacu pada Peraturan Pemerintah No.
19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1) tertulis:
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan;
dan
c. penilaian
hasil belajar oleh Pemerintah.
Pasal
tersebut khususnya butir (c) menjadi dasar terkuat yang sangat jelas maknanya
sebagai landasan bagi pelaksanaan Ujian Nasional. Namun secara tingkatan
Undang-Undang berada di atas Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu seharusnya
Peraturan Pemerintah adalah penjabaran dari Undang-Undang. Apabila terdapat
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang bertolak belakang dengan
ketentuan Undanh-Undang maka yang harus dijadikan pedoman adalah Undang-Undang.
Karena Undang-Undang
Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasai hasil belajar peserta didik dilakukan
oleh pendidik dan bukan oleh pemerintah maka tugas tersebut merupakan hak
mutlak dari seorang guru. Pemerintah tidak berhak mengevaluasi hasil belajar
peserta didik terlebih dalam menentukan kelulusan.
Pada
PP No 19 tahun 2005 tentang SNP pasal 68 menyatakan bahwa:
Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah
satu pertimbangan untuk
- pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
- dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
- penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
- pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Berdasarkan pasal inilah maka ujian nasional digunakan sebagai penentu
kelulusan yang tertera pada butir (c). Sementara patut kita kritisi apakah
pemerintah telah menjalankan butir-butir lainnya khususnya butir (a) dan (d)?
Nampaknya belum ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil ujian
nasional. Hasil ujian nasional dari tahun ke tahun belum bermakna bagi pemetaan
dan pembinaan serta pemberian bantuan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkret
yang dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang nilai ujiannya jauh di bawah
standar?
Sementara itu mengenai kelulusan peserta didik
mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 pasal 72 ayat (1) yang menyatakan:
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan
pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah
- menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
- memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
- lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
- lulus Ujian Nasional.
Butir (d) itulah yang juga menjadi dasar
mengapa ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan.
Hakekat,
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Penyelenggaraan sistem
pendidikan di Indonesia semula didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950 jo. No. 12
tahun 1954. Kemudian diganti menjadi UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Selanjutnya yang saat ini berlaku adalah UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003, Pasal 1 ayat (1) tertulis “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Terlihat jelas bahwa
ketentuan tersebut menekankan pentingnya mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran yang mendorong peserta
didik secara aktif mengembangankan potensi dirinya. Sementara suasana dan
proses pembelajaran yang demikian tidak dapat terwujud dengan berlakunya sistem
ujian nasional yang model pembelajarannya menekankan pada kemampuan verbal
untuk menjawab soal pilihan ganda. Ujian nasional malah mendorong proses
pembelajaran yang mengutamakan kegiatan mendengar, mencatat, dan menghafal
pengetahuan.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Benjamin Bloom dan juga Soedijarto di Amerika Serikat ditemukan
bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta
didik terhadap apa yang akan diujikan. Oleh karena itu ujian nasional yang
umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menyebabkan
peserta didik dalam proses belajarnya tidak merasa perlu untuk membaca novel,
tidak merasa perlu untuk melakukan percobaan di laboratorium, tidak merasa
perlu untuk melakukan berbagai aktivitas belajar lainnya yang bermanfaat bagi
pengembangan potensi dirinya karena semua itu tidak akan diujikan.
Dampak lainnya dari
kebijakan ujian nasional adalah guru akan membantu peserta didik untuk
menghadapi ujian dengan cara melatih peserta didik menjawab soal-soal ujian.
Sekolah dan pemerintah daerah akan berusaha agar siswanya banyak yang lulus
termasuk dengan cara-cara yang tidak etis semisal pembentukan “tim sukses”. Hal
ini terjadi karena menyangkut akreditasi dan citra sekolah serta daerah yang
berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap sekolah dan daerah tersebut.
Sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus akan dianggap sebagai sekolah
tidak bermutu sehingga tahun berikutnya masyarakat tidak mau menyekolahkan
anaknya ke sekolah tersebut.
Dampak-dampak di atas sebagai
akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional tidak mungkin mampu mewujudkan
proses pembelajaran yang mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan.
Mengenai fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. “
Fungsi pendidikan yang
dikemukakan dalam UU Sisdiknas tersebut sesuai dengan empat misi Negara yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Mengapa para pendiri
republik menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu
misi penyelenggaraan negara?
Dengan memahami latar
belakang sejarah Indonesia sebelum kedatangan penjajah, yakni setelah runtuhnya
Majapahit pada abad ke-15, wilayah nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan
kecil yang selanjutnya dikuasai oleh penjajah sejak abad ke-17. Kondisi
Nusantara sejak saat itu sangat jauh tertinggal dalam hampir semua dimensi
kehidupan, baik ekonomi, politik, dan IPTEK oleh bangsa-bangsa Eropa yang telah
bangkit menjadi negara-negara industri sejak Renaissance. Oleh karena itu
tampaknya para pendiri republik terilhami oleh Otto von Bismark (Jerman),
Garibaldi (Italia), King Arthur (Inggris), dan Thomas Jefferson (Amerika Serikat),
bercita-cita membangun sebuah Negara yang cerdas kehidupannya, yaitu masyarakat
negara yang maju, modern, demokratis, dan berkeadilan sosial. Dan tampaknya
para pendiri republik pun berpegang kepada paradigma yang dianut oleh
negara-negara maju saat itu yakni “BUILD NATION BUILD SCHOOL.”
Apabila
fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam ketentuan UU
Sisdiknas tersebut tercapai, Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cerdas
kehidupannya. Namun Prof. Dr. Soedijarto, M.A. menyatakan bahwa ujian nasional
tidak akan dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut karena ujian
nasional tidak dapat mengukur seberapa jauh perkembangan kemampuan dan watak
peserta didik. Dasarnya karena hal itu tidak akan tercapai melalui proses pembelajaran
yang mengutamakan belajar mencatat, mendengar, dan menghafal.
Mutu Pendidikan dan Etos Kerja
Pemerintah berpendapat bahwa
Ujian Nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan dan meningkatkan etos kerja
serta semangat belajar peserta didik. Dasarnya ujian nasional yang secara
statistik mengalami peningkatan nilai kelulusan dari tahun ke tahun diartikan
sebagai peningkatan mutu pendidikan. Apakah mutu bisa diartikan sesempit dan
sedangkal itu? Lalu semangat belajar peserta didik agar dapat lulus ujian
diartikan juga sebagai peningkatan etos kerja. Apakah hal-hal yang menjadi
akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional benar mampu menciptakan
masyarakat yang beretos kerja tinggi? Yang terjadi di lapangan justru maraknya
kecurangan dan manipulasi nilai yang bukan saja tidak berlaku valid untuk
menyatakan peningkatan mutu bahkan telah terjadinya pada kondisi seperti ini
telah menyebabkan kemerosotan karakter.
Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang
berhasil membentuk siswa yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian
(pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas). Untuk itu perlu dirancang satu sistem
pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang
mendorong siswa secara aktif mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.
Selama sarana prasarana
tidak memadai, gaji guru kecil, kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk,
media belajar miskin, manajemen sekolah amburadul, dan kurikulum tak tepat
guna, apa yang bisa kita harapkan dari peningkatan mutu pendidikan? Jika
pemerintah tetap menekankan pada ketercapaian Standar Kompetensi Lulusan tanpa
mendorong secara maksimal pemenuhan ketujuh standar lainnya (standar isi,
standar proses, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar
pengelolaan, standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan)
usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan SDM yang mampu
bersaing di dunia internasional tidak akan banyak berarti.
Berdasarkan laporan UNDP, Indeks
Prestasi Manusia Indonesia tahun 2010 berada di peringkat 108 dari 169 negara
di dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-negara tetangga lain seperti
Malaysia yang berada di 57, China pada posisi 89, Thailand di peringkat 92, dan
Filipina di posisi 97. Studi ini menilai tingkat ekonomi, kesehatan, dan
pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih dalam keadaan miskin, sakit,
dan bodoh.
Studi PISA yang dilakukan
oleh negara-negara OECD untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains
siswa menilai bahwa Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara
pada tahun 2009. Untuk kemampuan membaca Indonesia berada di peringkat 57
dibawah Thailand yang berada di perngkat 50. Untuk matematika Indonesia berada
di peringkat 61 dan Thailand tetap di peringkat 50. Untuk sains Indonesia mendapat
peringkat 60 sementara Thailand di posisi 49.
Bedasarkan data Depdiknas
tahun 2007/2008 sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak. Di SD terdapat
48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20% ruang kelas yang ruasak. Sementara
di SMA dan SMK 10% dinyatakan rusak. Untuk fasilitas perpustakaan di SMP hanya
memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia. Artinya 77% SMP tidak dilengkapi
dengan perpustakaan. Laboratorium hanya 27% untuk tingkat SMP. Artinya 73% SMP
tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru 39% sekolah yang sudah
dilengkapi perpustakaan sementara 61% belum mempunyai perpustakaan.
Laboratorium SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK tidak memiliki
laboratorium. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana dan prasarana sekolah
masih belum memadai.
Untuk
meningkatkan etos kerja marilah melihat pandangan guru besar emiretus UNJ Prof.
Dr. H . Soedijarto, M.A. Beliau berpendapat bahwa evaluasi yang terus-menerus,
komprehensif, dan obyektiflah yang berpengaruh untuk menjadikan sekolah sebagai
pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan
cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu
peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya,
hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar
yang-menurut pengamatan beliau menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat
mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar
belajar.
Gugatan
Hukum terhadap Kebijakan Ujian Nasional
Setelah berbagai upaya untuk
mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah tidak
mendapat tanggapan yang berarti, sejumlah warga negara kemudian berkelompok dan
mengajukan tuntutan hukum. Sebanyak 58 orang dengan dipimpin oleh Kristiono melakukan
gugugatan Citizen Law Suit tentang ujian nasional ke pengadilan.
Tertanggal 21 Mei 2007
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan perkara gugatan Citizen Law
Suit tentang Ujian Nasional Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Dalam amar
putusannya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Andriani
Nurdin, SH, MH memutuskan:
- Mengabulkan gugatan Subsidiair Para Penggugat;
- Menyatakan bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak;
- Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;
- Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;
- Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional;
- Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp. 374.000,- (Tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).
Atas putusan tersebut para
tergugat (pemerintah) mengajukan banding. Pada tanggal 6 Desember 2007
Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya para tergugat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Tanggal 14 September 2009melalui putusan nomor
2596K/PDT/2009/MA menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah.
Sungguh sangat disayangkan,
pemerintah nampaknya buta dan tidak menghormati putusan lembaga-lembaga hukum
tersebut. Ujian Nasional tetap jalan. Dan tuntutan-tuntutan gugatan tidak
dilaksanakan. Padahal lembaga-lembaga hukum tersebut adalah lembaga yang
dibentuk oleh negara secara sah. Sangat tidak patut pemerintah yang mengesahkan
pendirian lembaga-lembaga hukum tersebut ternyata tidak mentaati hukum yang
diterapkan.
Tim Advokasi Korban Ujian
Nasional (TeKUN) selaku kuasa hukum dari para penggugat bersama Education Forum
juga mengajukan permasalahan ujian nasional ini ke Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat, KPAI memandang bahwa kebijakan
ujian nasional bermasalah. Setelah pada tahun 2008 KPAI melakukan kajian secara
intens yang melibatkan banyak pihak di berbagai bidang ilmu diperoleh
kesimpulan bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan perspektif perlindungan
anak yang dilihat dari empat hal:
- Ujian nasional sangat diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anak-anak diperlakukan dan dituntut untuk mencapai target yang sama.
- Ujian nasional lebih menekankan kepada kepentingan politik pemerintah daripada kepentingan anak. Seharusnya yang diutamakan adalah menjalankan proses pendidikan ramah anak, akses yang mudah, sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru yang berkualitas.
- Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang anak karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak wajar bahkan tidak manusiawi, dengan penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan takut, serta ancaman kekerasan.
- Ujian nasional tidak menghargai partisipasi anak karena sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri, bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah bergembira dengan angka-angka kelulusan. Selayaknya anak dihargai dan didengar pendapatnya.
Selain itu Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengeluarkan rekomendasi terkait kebijakan
ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP
untuk melakukan:
- Peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan nasional;
- Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus pasal 72 yang menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan;
- Meninjau ulang atau menghentikan Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun 2010;
- Mematuhi Putusan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor : 377/K/PDT/2007/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2596K/PDT/2009.
Pernyataan-pernyataan
dari KPAI dan Komnas HAM, terlebih keputusan Pengadilan seharusnya menjadi
cambuk bagi pemerintah terhadap kebijakan ujian nasional. Sangat disesalkan
bahwa pemerintah tidak pernah menghiraukan saran dan kritik-kritik tersebut.
Posisi
Pemerintah dalam Pendidikan
Prof. Dr. S. hamid Hasan,
M.A. meyatakan bahwa selain sebagai penyelenggara pendidikan, pemerintah
memiliki dua peran dalam menjaga mutu pendidikan nasional, yaitu sebagai
selektor dan sebagai penjamin mutu. Berikut ini akan dibahas kedua peran
tersebut.
1. Peran sebagai selektor
Peran ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan satu proses seleksi
untuk menentukan apakah seseorang telah memenuhi kualitas seperti yang diinginkan.
Ujian nasional menjalankan peran ini dalam pendidikan. Dengan peran ini
pemerintah membagi siswa didik dalam dua kelompok besar, yaitu siswa yang lulus
sehingga dinyatakan berkualitas serta siswa yang tidak lulus sehingga
dinyatakan tidak berkualitas. Denagn peran ini ujian nasional merusak rasa
keadilan masyarakat. Karena pada dasarnya kegagalan siswa didik dikarenakan
kelalaian pemerintah dalam memberikan hak atas pendidikan yang berkualitas.
Ujian nasional telah melanggar prinsip “fairness” dalam hal evaluasi karena
ujian yang sama dilakukan terhadap siswa dengan kondisi pendidikan yang tidak
sama. Tentu saja tidak bisa disamakan antara sekolah di wilayah Indonesia Barat
khususnya di pulau Jawa dengan sekolah-sekolah di wilayah Indonesia Timur. Sehingga
ujian nasional pada dasarnya menghukum siswa yang kebetulan sekolah di sekolah
yang kondisinya belum memenuhi standar.
2. Peran sebagai penjamin mutu
Denagn peran ini maka pemerintah bertanggung jawab untuk
menghasilkan warga negara yang memiliki kualitas minimal yang ditetapkan.
Dengan peran ini pemerintah mengembangkan pelayanan pendidikan yang mendukung
berkembangnya potensi peserta didik secara optimal. Pemerintah mengawasi
sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan untuk menjamin kualitas pendidikan sebagai
hak peserta didik. Berdasarkan peran ini maka ujian nasional digunakan untuk
melakukan pemetaan terhadap pelayanan sekolah. Sekolah-sekolah yang kualitasnya
di bawah standar selanjutnya dipelajari faktor-faktor penyebabnya. Jika
kelemahan pelayanan disebabkan karena fasilitas fisik maka diperbaikilah
fasilitas fisik tersebut. Jika kelemahan terjadi karena kemampuan guru yang
rendah maka dilakukanlah serangkaian program pelatihan dan penyegaran bagi
guru.
Posisi kedua tersebut, yaitu
sebagai penjamin mutu banyak dianut oleh negara-negara yang hasil pendidikannya
baik di dunia. Jepang dan Korea Selatan melakukan tes nasional, bukan ujian
nasional, yang dilaksanakan pada saat anak berusia 12 dan 15 tahun untuk
mengetahui kualitas hasil belajar dan memperbaiki pelayanan pendidikan, bukan
untuk menentukan kelulusan peserta didik. Keberhasilan peserta didik dari
satuan pendidikan di kedua negara tersebut ditentukan oleh “teacher
assessment”.
Hampir
semua negara di Eropa kecuali Hungaria, Swiss, dan Kanada melakukan ujian
negara untuk peserta didik yang akan melanjutkan pendidikan ke SMA. Ujian ini
bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari SMP tetapi dipersyaratkan
untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya untuk selanjutnya ditentukan
apakah melanjutkan ke sekolah umum atau sekolah kejuruan. Sementara Hungaria,
Swiss, Kanada, dan juga Australia melakukan ujian nasional pada peserta didik
usia 18 atau 19 tahun sebagai persyaratan masuk ke perguruan tinggi dan
digunakan untuk menjamin kualitas pelayanan pendidikan.
Kesimpulan
Kajian
Setelah mempelajari dan
mengkaji dengan cermat permasalahan kebijakan ujian nasional dicapailah satu
kesimpulan bahwa kebijakan ujian nasional memang bermasalah. Ujian nasional
pada dasarnya bertentangan dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas No. 29 tahun 2003. Apalagi
secara konstitusional landasan kebijakan ujian nasional lontradiktif dengan UU
Sisdiknas. Ujian nasional bahkan tidak mempengaruhi peningkatan kualitas
pendidikan malah semakin mengkerdilkan pendidikan menjadi sebatas persiapan
lulus ujian. Ujian nasional tidak mendukung terciptanya suasana pembelajaran
yang mampu mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya. Labih
jauh KPAI dan Komnas HAM juga telah menyatakan bahwa ujian nasional tidak ramah
anak dan mendesak dihentikannya kebijakan tersebut. Apalagi diperkuat dengan
keputusan Pengadilan sebagai lembaga hukum yang menyatakan bahwa pemerintah
dengan kebijakan ujian nasionalnya telah lalai dalam pemenuhan dan perlindungan
HAM.
Oleh
karena itu kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ menyatakan sikap “Menolak Kebijakan Ujian Nasional sebagai
Penentu Kelulusan.”
Rekomendasi
Dengan semangat untuk
memperbaiki pendidikan Indonesia agar tercapai misi dan cita-cita negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ memberikan
beberapa point rekomendasi:
- Pemerintah menjalankan dan memenuhi tuntutan sesuai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
- Pemerintah merevisi PP No. 19 tahun 2005 pasal 68 dengan menghapus butir (c) dan pasal 72 ayat (1) dengan menghapus butir (d);
- Pemerintah menghentikan kebijakan ujian nasional sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari satuan pendidikan yang sedang ditempuhnya;
- Pemerintah memprioritaskan pemenuhan terhadap ketujuh standar nasional pendidikan yaitu isi, proses, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian, serta pendidik dan tenaga kependidikan. Apabila ketujuh stnadar ini telah terpenuhi maka dengan sendirinya standar kompetensi lulusan akan tercapai;
- Pemerintah menghentikan UASBN untuk siswa SD karena wajib belajar lamanya 9 tahun maka siswa SD harus secara otomatis naik ke SMP;
- Pemerintah menyerahkan evaluasi hasil belajar peserta didik sepenuhnya kepada pendidik;
- Pemerintah mengembangkan satu sistem evaluasi yang terus menerus, obyektif, dan komprehensif;
- Pemerintah memposisikan dirinya dalam perannya sebagai penjamin mutu pendidikan bukan sebagai selektor.
Referensi
Soedijarto.
2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas
Education
Forum. 2007. Menggugat Ujian Nasional. Teraju
Soedijarto.
Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan, Dan Prinsip
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Dirancang Untuk Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa Dan Memajukan Peradaban Bangsa. Makalah disajikan dalam
“Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional,
Jakarta 18 Februari 2010
Soedijarto.
Kedudukan Sitem Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang Dari 1945 Dan
Kebijaksanaan Pelaksanaannya Dari Masa Ke Masa. Makalh disajikan dalam “Seminar
Nasional, Telaah Kritis Falsafah Pendidikan Kreatif” yang diselenggarakan
Lembaga Kajian Mahasiswa Expo 2009 di UNJ 8 Desember 2009
Soedijarto.
Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Indonesia (Hasil Sebuah Renungan
Analitik). Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Telaah Kritis pelaksanaan
Pendidikan Nasional” diselenggarakan di Jakarta 7 April 2011 oleh Forum
Mahasiswa Pascasarjana UNJ
Suparman.
Catatan Perjalanan Gugatan Masyarakat Terhadap Kebijakan Ujian Nasional.
Makalah disajikan pada Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh
Education Watch BEM UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ
Johny
Nelson Simanjuntak. Perkara Ujian Nasional Dan Isuus HAM. Makalah disajikan pada
Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Education Watch BEM
UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ
Hadi
Supeno. Ujian Nasional dalam Perspektif Perlindungan Anak. Makalh disajikan
untuk bahan Diskusi Publik seputar “Penolakan kasasi Pemerintah oleh Mahkamah
Agung dalam Kasus Gugatan Ujian Nasional” di LBH Jakarta, Selasa 1 Desember
2009
Pers
Release Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Mengabaikan Putusan Mahkamah Agung
Tentang Ujian Nasional Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Berarti Melakukan
Pembangkangan Hukum. Jakarta, 30 November 2009
Siaran
Pers Tim Advokasi Korban Ujian Nasional. Pernyataan Humas MA Terkait Putusan
Ujian Nasional Adalah Tafsir Pribadi Dan Keluar Dari Substansi Gugatan Serta
Amar Putusan. Jakarta 1 Desember 2009
Pers
Release Tim Advokasi Korban Ujian Nasional dan Education Forum. Gugatan ujian
Nasional Kembali Dimenangkan Oleh Mahkamah Agung, Permohonan Kasasi Pemerintah
Ditolak. Jakarta 25 November 2009
S.
Hamid Hasan. Ujian nasional Dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal,
Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan. [ONLINE] diunduh dari http://file.upi.edu
tanggal 27 April 2011
Indonesia Peringkat 10 besar Terbawah Dari 65
Negara Peserta PISA. [ONLINE] diunduh dari http:// edukasi.kompasiana.com pada tanggal 27 April
2011
Tanya Jawab Pelaksanaan Ujian Nasional 2011.
Ebook diunduh dari http://kemdiknas.go.id
Human Development Report 2009. Ebook diunduh
dari http://oecd.org
Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun
2007/2008. Ebook diunduh dari http://www.depdiknas.go.id
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar