Senin, 05 Desember 2011

Positioning Paper Kebijakan Ujian Nasional


Pendahuluan
Kontroversi dan silang pendapat tentang kebijakan Ujian Nasional hingga saat ini masih terus berlangsung. Sebagian kalangan menilai bahwa Ujian Nasional perlu tetap dipertahankan dengan model yang saat ini sedang berlaku. Kalangan lain berpendapat bahwa kebijakan ini tidak sesuai dan harus dihapuskan dari sistem pendidikan nasional. Sementara kalangan lain juga memiliki pendapat berbeda, yaitu menolak Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, sementara fungsinya yang lain masih boleh dipertahankan. Ketiga perbedaan pendapat tersebut tentunya dilandasi oleh argumen yang diyakininya masing-masing.
Jika kita melihat kembali sejarah perjalanan sistem pendidikan nasional khususnya dalam hal evaluasi, Indonesia sebenarnya telah menerapkan teknik evaluasi yang berganti-ganti dari masa ke masa. Pada tahun 1950-1960-an Indonesia menerapkan Ujian Penghabisan. Tahun 1965-1971 menjadi Ujian Negara. Kemudian tahun 1972-1979 ujian dilaksanakan oleh sekolah masing-masing. Tahun 1980-2000 dilakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Baru pada tahun 2001-2004 berlaku Ujian Akhir Nasional yang selanjutnya pada tahun 2005 berganti nama menjadi Ujian Nasional.
Kebijakan Ujian Nasional untuk tahun 2011 ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini terdapat porsi 60-40. Maksudnya kelulusan peserta didik ditentukan dari 60% nilai ujian nasional dikombinasikan dengan 40% nilai sekolah. Nilai sekolah yaitu gabungan nilai ujian akhir sekolah dan nilai rata-rata rapor dari semester 1-5 untuk SMP/MTs/SMPLB dan semester 3-5 untuk siswa SMA/MA/SMK. Bobot untuk nilai sekolah adalah 60% nilai ujian sekolah dan 40% nilai rata-rata rapor. Perbedaan lain juga yaitu tidak adanya ujian ulangan untuk tahun ini dan pemberlakuan 5 paket soal dalam satu ruangan.
Perlu dipahami bahwa tujuan pemerintah melaksanakan ujian nasional antara lain untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi serta untuk memetakan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah. Sementara fungsinya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan agar tercipta SDM yang mampu bersaing secara global.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: (1) Apakah Ujian Nasional sesuai dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003? Apakah ujian nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan? Bagaimanakah sikap BEM UNJ terhadap kebijakan ujian nasional? Apakah rekomendasi BEM UNJ untuk memperbaiki pendidikan nasional dipandang dari kebijakan ujian nasional?


Landasan Kebijakan dan Fungsi Ujian Nasional
Di dalam buku Tanya Jawab UN 2011 yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa landasan pelaksanaan kebijakan ujian nasional terdapat pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2) tertulis “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.
Ketentuan di atas pada dasarnya bertentangan dengan pasal sebelumnya, yaitu pasal 58 ayat (1) menyatakan “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Dalam ayat (1) sudah jelas dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh pendidik. Pendidik yang dimaksud di sini adalah guru. Dan yang dievaluasi adalah hasil belajar peserta didik. Artinya perkembangan peserta didik selama belajar sekolah itu dinilai dan dievaluasi oleh gurunya sendiri yang mengajarnya di kelas. Sementara pada ayat selanjutnya yakni ayat (2), yang dimaksud dengan evaluasi peserta didik di sini bukanlah untuk menentukan lulus tidak lulusnya peserta didik dari satuan pendidikan. Akan tetapi untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Landasan lain yang dikemukakan oleh pemerintah dalam buku Tanya Jawab UN 2011 adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1) tertulis:
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Pasal tersebut khususnya butir (c) menjadi dasar terkuat yang sangat jelas maknanya sebagai landasan bagi pelaksanaan Ujian Nasional. Namun secara tingkatan Undang-Undang berada di atas Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu seharusnya Peraturan Pemerintah adalah penjabaran dari Undang-Undang. Apabila terdapat ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang bertolak belakang dengan ketentuan Undanh-Undang maka yang harus dijadikan pedoman adalah Undang-Undang.
Karena Undang-Undang Sisdiknas mengamanatkan bahwa evaluasai hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dan bukan oleh pemerintah maka tugas tersebut merupakan hak mutlak dari seorang guru. Pemerintah tidak berhak mengevaluasi hasil belajar peserta didik terlebih dalam menentukan kelulusan.
Pada PP No 19 tahun 2005 tentang SNP pasal 68 menyatakan bahwa:
Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk
  1. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; 
  2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 
  3. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; 
  4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Berdasarkan pasal inilah maka ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan yang tertera pada butir (c). Sementara patut kita kritisi apakah pemerintah telah menjalankan butir-butir lainnya khususnya butir (a) dan (d)? Nampaknya belum ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil ujian nasional. Hasil ujian nasional dari tahun ke tahun belum bermakna bagi pemetaan dan pembinaan serta pemberian bantuan. Apakah sudah ada langkah-langkah konkret yang dilakukan terhadap sekolah-sekolah yang nilai ujiannya jauh di bawah standar?
Sementara itu mengenai kelulusan peserta didik mengacu pada PP No. 19 tahun 2005 pasal 72 ayat (1) yang menyatakan:
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah
  1. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; 
  2. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 
  3. lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 
  4. lulus Ujian Nasional.
Butir (d) itulah yang juga menjadi dasar mengapa ujian nasional digunakan sebagai penentu kelulusan.


Hakekat, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional
Penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia semula didasarkan pada UU No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954. Kemudian diganti menjadi UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya yang saat ini berlaku adalah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (1) tertulis “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Terlihat jelas bahwa ketentuan tersebut menekankan pentingnya mewujudkan suasana dan proses pembelajaran yang mendorong  peserta didik secara aktif mengembangankan potensi dirinya. Sementara suasana dan proses pembelajaran yang demikian tidak dapat terwujud dengan berlakunya sistem ujian nasional yang model pembelajarannya menekankan pada kemampuan verbal untuk menjawab soal pilihan ganda. Ujian nasional malah mendorong proses pembelajaran yang mengutamakan kegiatan mendengar, mencatat, dan menghafal pengetahuan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom dan juga Soedijarto di Amerika Serikat ditemukan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik terhadap apa yang akan diujikan. Oleh karena itu ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menyebabkan peserta didik dalam proses belajarnya tidak merasa perlu untuk membaca novel, tidak merasa perlu untuk melakukan percobaan di laboratorium, tidak merasa perlu untuk melakukan berbagai aktivitas belajar lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan potensi dirinya karena semua itu tidak akan diujikan.
Dampak lainnya dari kebijakan ujian nasional adalah guru akan membantu peserta didik untuk menghadapi ujian dengan cara melatih peserta didik menjawab soal-soal ujian. Sekolah dan pemerintah daerah akan berusaha agar siswanya banyak yang lulus termasuk dengan cara-cara yang tidak etis semisal pembentukan “tim sukses”. Hal ini terjadi karena menyangkut akreditasi dan citra sekolah serta daerah yang berpengaruh terhadap pandangan masyarakat terhadap sekolah dan daerah tersebut. Sekolah yang siswanya banyak yang tidak lulus akan dianggap sebagai sekolah tidak bermutu sehingga tahun berikutnya masyarakat tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.
Dampak-dampak di atas sebagai akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional tidak mungkin mampu mewujudkan proses pembelajaran yang mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan.
Mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. “
Fungsi pendidikan yang dikemukakan dalam UU Sisdiknas tersebut sesuai dengan empat misi Negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Mengapa para pendiri republik menetapkan misi “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu misi penyelenggaraan negara?
Dengan memahami latar belakang sejarah Indonesia sebelum kedatangan penjajah, yakni setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke-15, wilayah nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil yang selanjutnya dikuasai oleh penjajah sejak abad ke-17. Kondisi Nusantara sejak saat itu sangat jauh tertinggal dalam hampir semua dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, dan IPTEK oleh bangsa-bangsa Eropa yang telah bangkit menjadi negara-negara industri sejak Renaissance. Oleh karena itu tampaknya para pendiri republik terilhami oleh Otto von Bismark (Jerman), Garibaldi (Italia), King Arthur (Inggris), dan Thomas Jefferson (Amerika Serikat), bercita-cita membangun sebuah Negara yang cerdas kehidupannya, yaitu masyarakat negara yang maju, modern, demokratis, dan berkeadilan sosial. Dan tampaknya para pendiri republik pun berpegang kepada paradigma yang dianut oleh negara-negara maju saat itu yakni “BUILD NATION BUILD SCHOOL.”
Apabila fungsi dan tujuan pendidikan seperti yang digariskan dalam ketentuan UU Sisdiknas tersebut tercapai, Indonesia akan menjadi negara yang maju dan cerdas kehidupannya. Namun Prof. Dr. Soedijarto, M.A. menyatakan bahwa ujian nasional tidak akan dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut karena ujian nasional tidak dapat mengukur seberapa jauh perkembangan kemampuan dan watak peserta didik. Dasarnya karena hal itu tidak akan tercapai melalui proses pembelajaran yang mengutamakan belajar mencatat, mendengar, dan menghafal.


Mutu Pendidikan dan Etos Kerja

Pemerintah berpendapat bahwa Ujian Nasional mampu meningkatkan mutu pendidikan dan meningkatkan etos kerja serta semangat belajar peserta didik. Dasarnya ujian nasional yang secara statistik mengalami peningkatan nilai kelulusan dari tahun ke tahun diartikan sebagai peningkatan mutu pendidikan. Apakah mutu bisa diartikan sesempit dan sedangkal itu? Lalu semangat belajar peserta didik agar dapat lulus ujian diartikan juga sebagai peningkatan etos kerja. Apakah hal-hal yang menjadi akibat diterapkannya kebijakan ujian nasional benar mampu menciptakan masyarakat yang beretos kerja tinggi? Yang terjadi di lapangan justru maraknya kecurangan dan manipulasi nilai yang bukan saja tidak berlaku valid untuk menyatakan peningkatan mutu bahkan telah terjadinya pada kondisi seperti ini telah menyebabkan kemerosotan karakter.
 Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang berhasil membentuk siswa yang cerdas, berkarakter, bermoral, dan berkepribadian (pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas). Untuk itu perlu dirancang satu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang mendorong siswa secara aktif mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Selama sarana prasarana tidak memadai, gaji guru kecil, kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, media belajar miskin, manajemen sekolah amburadul, dan kurikulum tak tepat guna, apa yang bisa kita harapkan dari peningkatan mutu pendidikan? Jika pemerintah tetap menekankan pada ketercapaian Standar Kompetensi Lulusan tanpa mendorong secara maksimal pemenuhan ketujuh standar lainnya (standar isi, standar proses, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan, standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan) usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menciptakan SDM yang mampu bersaing di dunia internasional tidak akan banyak berarti.
Berdasarkan laporan UNDP, Indeks Prestasi Manusia Indonesia tahun 2010 berada di peringkat 108 dari 169 negara di dunia. Peringkat ini berada di bawah negara-negara tetangga lain seperti Malaysia yang berada di 57, China pada posisi 89, Thailand di peringkat 92, dan Filipina di posisi 97. Studi ini menilai tingkat ekonomi, kesehatan, dan pendidikan suatu negara. Artinya Indonesia masih dalam keadaan miskin, sakit, dan bodoh.
Studi PISA yang dilakukan oleh negara-negara OECD untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa menilai bahwa Indonesia berada di peringkat 10 terbawah dari 65 negara pada tahun 2009. Untuk kemampuan membaca Indonesia berada di peringkat 57 dibawah Thailand yang berada di perngkat 50. Untuk matematika Indonesia berada di peringkat 61 dan Thailand tetap di peringkat 50. Untuk sains Indonesia mendapat peringkat 60 sementara Thailand di posisi 49.
Bedasarkan data Depdiknas tahun 2007/2008 sebanyak 35% ruang kelas TK dalam keadaan rusak. Di SD terdapat 48% ruang kelas rusak. Di SMP sebanyak 20% ruang kelas yang ruasak. Sementara di SMA dan SMK 10% dinyatakan rusak. Untuk fasilitas perpustakaan di SMP hanya memenuhi 23% dari seluruh SMP di Indonesia. Artinya 77% SMP tidak dilengkapi dengan perpustakaan. Laboratorium hanya 27% untuk tingkat SMP. Artinya 73% SMP tidak memiliki laboratorium. Untuk SMA/SMK, baru 39% sekolah yang sudah dilengkapi perpustakaan sementara 61% belum mempunyai perpustakaan. Laboratorium SMA/SMK hanya memenuhi 59% sehingga 41% SMA/SMK tidak memiliki laboratorium. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana dan prasarana sekolah masih belum memadai.
Untuk meningkatkan etos kerja marilah melihat pandangan guru besar emiretus UNJ Prof. Dr. H . Soedijarto, M.A. Beliau berpendapat bahwa evaluasi yang terus-menerus, komprehensif, dan obyektiflah yang berpengaruh untuk menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai, etos kerja, disiplin, jujur dan cerdas, serta bermoral. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang-menurut pengamatan beliau menjadikan sekolah di Jerman dan Amerika Serikat mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.


Gugatan Hukum terhadap Kebijakan Ujian Nasional
Setelah berbagai upaya untuk mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah tidak mendapat tanggapan yang berarti, sejumlah warga negara kemudian berkelompok dan mengajukan tuntutan hukum. Sebanyak 58 orang dengan dipimpin oleh Kristiono melakukan gugugatan Citizen Law Suit tentang ujian nasional ke pengadilan.
Tertanggal 21 Mei 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan perkara gugatan Citizen Law Suit tentang Ujian Nasional Nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST. Dalam amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Andriani Nurdin, SH, MH memutuskan:
  1. Mengabulkan gugatan Subsidiair Para Penggugat; 
  2. Menyatakan bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak; 
  3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut; 
  4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional; 
  5. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional;
  6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini berjumlah Rp. 374.000,- (Tiga ratus tujuh puluh empat ribu rupiah).

Atas putusan tersebut para tergugat (pemerintah) mengajukan banding. Pada tanggal 6 Desember 2007 Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 377/PDT/2007/PT.DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya para tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tanggal 14 September 2009melalui putusan nomor 2596K/PDT/2009/MA menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah.
Sungguh sangat disayangkan, pemerintah nampaknya buta dan tidak menghormati putusan lembaga-lembaga hukum tersebut. Ujian Nasional tetap jalan. Dan tuntutan-tuntutan gugatan tidak dilaksanakan. Padahal lembaga-lembaga hukum tersebut adalah lembaga yang dibentuk oleh negara secara sah. Sangat tidak patut pemerintah yang mengesahkan pendirian lembaga-lembaga hukum tersebut ternyata tidak mentaati hukum yang diterapkan.
Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN) selaku kuasa hukum dari para penggugat bersama Education Forum juga mengajukan permasalahan ujian nasional ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Senada dengan para penggugat, KPAI memandang bahwa kebijakan ujian nasional bermasalah. Setelah pada tahun 2008 KPAI melakukan kajian secara intens yang melibatkan banyak pihak di berbagai bidang ilmu diperoleh kesimpulan bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan perspektif perlindungan anak yang dilihat dari empat hal:

  1. Ujian nasional sangat diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah yang sangat berbeda/beragam karena faktor geografis, budaya, dan sosial ekonominya. Tetapi anak-anak diperlakukan dan dituntut untuk mencapai target yang sama. 
  2. Ujian nasional lebih menekankan kepada kepentingan politik pemerintah daripada kepentingan anak. Seharusnya yang diutamakan adalah menjalankan proses pendidikan ramah anak, akses yang mudah, sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, dan guru-guru yang berkualitas. 
  3. Ujian nasional mengganggu tumbuh kembang anak karena di dalam persiapannya ada proses yang tidak wajar bahkan tidak manusiawi, dengan penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan takut, serta ancaman kekerasan. 
  4. Ujian nasional tidak menghargai partisipasi anak karena sementara anak mengalami tekanan kejiwaan, menteri, bupati, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah bergembira dengan angka-angka kelulusan. Selayaknya anak dihargai dan didengar pendapatnya. 


Selain itu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengeluarkan rekomendasi terkait kebijakan ujian nasional. Komnas HAM mendesak kepada Presiden, Mendiknas, dan Ketua BSNP untuk melakukan:

  1. Peninjauan ulang terhadap sistem pendidikan nasional;
  2. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menghapus pasal 72 yang menyebutkan UN sebagai syarat kelulusan; 
  3. Meninjau ulang atau menghentikan Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun 2010; 
  4. Mematuhi Putusan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor : 377/K/PDT/2007/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2596K/PDT/2009. 


Pernyataan-pernyataan dari KPAI dan Komnas HAM, terlebih keputusan Pengadilan seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah terhadap kebijakan ujian nasional. Sangat disesalkan bahwa pemerintah tidak pernah menghiraukan saran dan kritik-kritik tersebut.


Posisi Pemerintah dalam Pendidikan
Prof. Dr. S. hamid Hasan, M.A. meyatakan bahwa selain sebagai penyelenggara pendidikan, pemerintah memiliki dua peran dalam menjaga mutu pendidikan nasional, yaitu sebagai selektor dan sebagai penjamin mutu. Berikut ini akan dibahas kedua peran tersebut.
1. Peran sebagai selektor
Peran ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan satu proses seleksi untuk menentukan apakah seseorang telah memenuhi kualitas seperti yang diinginkan. Ujian nasional menjalankan peran ini dalam pendidikan. Dengan peran ini pemerintah membagi siswa didik dalam dua kelompok besar, yaitu siswa yang lulus sehingga dinyatakan berkualitas serta siswa yang tidak lulus sehingga dinyatakan tidak berkualitas. Denagn peran ini ujian nasional merusak rasa keadilan masyarakat. Karena pada dasarnya kegagalan siswa didik dikarenakan kelalaian pemerintah dalam memberikan hak atas pendidikan yang berkualitas. Ujian nasional telah melanggar prinsip “fairness” dalam hal evaluasi karena ujian yang sama dilakukan terhadap siswa dengan kondisi pendidikan yang tidak sama. Tentu saja tidak bisa disamakan antara sekolah di wilayah Indonesia Barat khususnya di pulau Jawa dengan sekolah-sekolah di wilayah Indonesia Timur. Sehingga ujian nasional pada dasarnya menghukum siswa yang kebetulan sekolah di sekolah yang kondisinya belum memenuhi standar.
2. Peran sebagai penjamin mutu
Denagn peran ini maka pemerintah bertanggung jawab untuk menghasilkan warga negara yang memiliki kualitas minimal yang ditetapkan. Dengan peran ini pemerintah mengembangkan pelayanan pendidikan yang mendukung berkembangnya potensi peserta didik secara optimal. Pemerintah mengawasi sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan untuk menjamin kualitas pendidikan sebagai hak peserta didik. Berdasarkan peran ini maka ujian nasional digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap pelayanan sekolah. Sekolah-sekolah yang kualitasnya di bawah standar selanjutnya dipelajari faktor-faktor penyebabnya. Jika kelemahan pelayanan disebabkan karena fasilitas fisik maka diperbaikilah fasilitas fisik tersebut. Jika kelemahan terjadi karena kemampuan guru yang rendah maka dilakukanlah serangkaian program pelatihan dan penyegaran bagi guru.
Posisi kedua tersebut, yaitu sebagai penjamin mutu banyak dianut oleh negara-negara yang hasil pendidikannya baik di dunia. Jepang dan Korea Selatan melakukan tes nasional, bukan ujian nasional, yang dilaksanakan pada saat anak berusia 12 dan 15 tahun untuk mengetahui kualitas hasil belajar dan memperbaiki pelayanan pendidikan, bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik. Keberhasilan peserta didik dari satuan pendidikan di kedua negara tersebut ditentukan oleh “teacher assessment”.
Hampir semua negara di Eropa kecuali Hungaria, Swiss, dan Kanada melakukan ujian negara untuk peserta didik yang akan melanjutkan pendidikan ke SMA. Ujian ini bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik dari SMP tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya untuk selanjutnya ditentukan apakah melanjutkan ke sekolah umum atau sekolah kejuruan. Sementara Hungaria, Swiss, Kanada, dan juga Australia melakukan ujian nasional pada peserta didik usia 18 atau 19 tahun sebagai persyaratan masuk ke perguruan tinggi dan digunakan untuk menjamin kualitas pelayanan pendidikan.

  
Kesimpulan Kajian
Setelah mempelajari dan mengkaji dengan cermat permasalahan kebijakan ujian nasional dicapailah satu kesimpulan bahwa kebijakan ujian nasional memang bermasalah. Ujian nasional pada dasarnya bertentangan dengan hakekat, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UU Sisdiknas No. 29 tahun 2003. Apalagi secara konstitusional landasan kebijakan ujian nasional lontradiktif dengan UU Sisdiknas. Ujian nasional bahkan tidak mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan malah semakin mengkerdilkan pendidikan menjadi sebatas persiapan lulus ujian. Ujian nasional tidak mendukung terciptanya suasana pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya. Labih jauh KPAI dan Komnas HAM juga telah menyatakan bahwa ujian nasional tidak ramah anak dan mendesak dihentikannya kebijakan tersebut. Apalagi diperkuat dengan keputusan Pengadilan sebagai lembaga hukum yang menyatakan bahwa pemerintah dengan kebijakan ujian nasionalnya telah lalai dalam pemenuhan dan perlindungan HAM.
Oleh karena itu kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ menyatakan sikap “Menolak Kebijakan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan.”


Rekomendasi
Dengan semangat untuk memperbaiki pendidikan Indonesia agar tercapai misi dan cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kami Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ memberikan beberapa point rekomendasi:

  1. Pemerintah menjalankan dan memenuhi tuntutan sesuai keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
  2. Pemerintah merevisi PP No. 19 tahun 2005 pasal 68 dengan menghapus butir (c) dan pasal 72 ayat (1) dengan menghapus butir (d);
  3. Pemerintah menghentikan kebijakan ujian nasional sebagai salah satu syarat kelulusan siswa dari satuan pendidikan yang sedang ditempuhnya;
  4. Pemerintah memprioritaskan pemenuhan terhadap ketujuh standar nasional pendidikan yaitu isi, proses, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, penilaian, serta pendidik dan tenaga kependidikan. Apabila ketujuh stnadar ini telah terpenuhi maka dengan sendirinya standar kompetensi lulusan akan tercapai;
  5. Pemerintah menghentikan UASBN untuk siswa SD karena wajib belajar lamanya 9 tahun maka siswa SD harus secara otomatis naik ke SMP;
  6. Pemerintah menyerahkan evaluasi hasil belajar peserta didik sepenuhnya kepada pendidik;
  7. Pemerintah mengembangkan satu sistem evaluasi yang terus menerus, obyektif, dan komprehensif;
  8. Pemerintah memposisikan dirinya dalam perannya sebagai penjamin mutu pendidikan bukan sebagai selektor.

Referensi
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas

Education Forum. 2007. Menggugat Ujian Nasional. Teraju

Soedijarto. Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan, Dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Dirancang Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Dan Memajukan Peradaban Bangsa. Makalah disajikan dalam “Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta 18 Februari 2010

Soedijarto. Kedudukan Sitem Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang Dari 1945 Dan Kebijaksanaan Pelaksanaannya Dari Masa Ke Masa. Makalh disajikan dalam “Seminar Nasional, Telaah Kritis Falsafah Pendidikan Kreatif” yang diselenggarakan Lembaga Kajian Mahasiswa Expo 2009 di UNJ 8 Desember 2009

Soedijarto. Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Indonesia (Hasil Sebuah Renungan Analitik). Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Telaah Kritis pelaksanaan Pendidikan Nasional” diselenggarakan di Jakarta 7 April 2011 oleh Forum Mahasiswa Pascasarjana UNJ

Suparman. Catatan Perjalanan Gugatan Masyarakat Terhadap Kebijakan Ujian Nasional. Makalah disajikan pada Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Education Watch BEM UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ

Johny Nelson Simanjuntak. Perkara Ujian Nasional Dan Isuus HAM. Makalah disajikan pada Diskusi Publik Awal Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Education Watch BEM UNJ, Jumat 8 Januari 2010 di UNJ

Hadi Supeno. Ujian Nasional dalam Perspektif Perlindungan Anak. Makalh disajikan untuk bahan Diskusi Publik seputar “Penolakan kasasi Pemerintah oleh Mahkamah Agung dalam Kasus Gugatan Ujian Nasional” di LBH Jakarta, Selasa 1 Desember 2009

Pers Release Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Tentang Ujian Nasional Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Berarti Melakukan Pembangkangan Hukum. Jakarta, 30 November 2009

Siaran Pers Tim Advokasi Korban Ujian Nasional. Pernyataan Humas MA Terkait Putusan Ujian Nasional Adalah Tafsir Pribadi Dan Keluar Dari Substansi Gugatan Serta Amar Putusan. Jakarta 1 Desember 2009

Pers Release Tim Advokasi Korban Ujian Nasional dan Education Forum. Gugatan ujian Nasional Kembali Dimenangkan Oleh Mahkamah Agung, Permohonan Kasasi Pemerintah Ditolak. Jakarta 25 November 2009

S. Hamid Hasan. Ujian nasional Dan Masa Depan Bangsa: Ditinjau Dari Aspek Legal, Posisi Pemerintah, Pandangan Pendidikan. [ONLINE] diunduh dari http://file.upi.edu tanggal 27 April 2011
Indonesia Peringkat 10 besar Terbawah Dari 65 Negara Peserta PISA. [ONLINE] diunduh dari http:// edukasi.kompasiana.com pada tanggal 27 April 2011

Tanya Jawab Pelaksanaan Ujian Nasional 2011. Ebook diunduh dari http://kemdiknas.go.id

Human Development Report 2009. Ebook diunduh dari http://oecd.org

Ikhtisar Data Pendidikan Nasional Tahun 2007/2008. Ebook diunduh dari http://www.depdiknas.go.id

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar