Minggu, 09 September 2012

3 Matahari di Ufuk Indonesia

"Tadi malam saya bermimpi melihat 3 matahari. Ketika saya bangun mimpi itu saya ceritakan ke anak saya. Terus saya bertanya, nak kamu mengerti enggak kira-kira apa maksud dari mimpi ayah semalam? Anaknya menjawab, emang selama ini 2 matahari lagi ngumpet dimana yah???"
 
Itu candaan yang disampaikan Ndorokakung, moderator acara tersebut. Saya tidak tahu ceritanya itu benar atau cuma buatan, tapi hari itu kami semua yang berada di ruang Teater Bulungan memang menemukan 3 sosok matahari. Mereka adalah Anies Baswedan, Didi Petet, dan Handry Satriago.
 

Sabtu 1 September 2012, Akademi Berbagi membuka kelas pembelajaran yang bisa diikuti oleh semua lapisan masyarakat secara gratis. Tentu saja untuk mengikutinya harus terlebih dahulu mendaftar ke panitia. Seratus tiket disiapkan dan 1 pekan sebelum acara semua tiket sold out. Ternyata urusan belajar masyarakat kita sangat antusias. Ya iyalah kan gratis..

Temanya "Taman Pembelajaran untuk Perubahan." Akademi Berbagi ingin meneruskan semangat yang diwariskan Ki Hajar Dewantara melalui sekolah pertama yang dibangunnya yaitu Taman Siswa. Berbicara tentang taman, dalam benak kita terbayang suasana yang asri, pemandangan yang indah, nyaman, dan semua orang boleh datang. Itulah mengapa tema yang diusung juga menggunakan kata taman. Tidak ada sekat yang membatasi orang untuk belajar. Semua bisa belajar, semua boleh datang, dan tidak ada biaya apapun untuk mengikutinya.

Langsung aja ya ke intinya...

Anies Baswedan mendapat kehormatan menjadi pembicara pertama. Beliau dikenal sebagai ketua gerakan Indonesia Mengajar. Sebuah gerakan yang mengirimkan sarjana-sarjana terbaik se-Indonesia untuk mengajar selama 1 tahun di sekolah-sekolah terpencil di penjuru nusantara. Karir beliau saat ini adalah sebagai rektor Universitas Paramadina.
 


Dalam presentasinya Anies Baswedan menyampaikan gagasan tentang perbedaan antara program dan gerakan. Menurutnya selama ini yang banyak muncul adalah program bukan gerakan. Di mana letak perbedaannya? Program selalu memisahkan antara pembuat program dan peserta program sementara gerakan memposisikan pembuat dan peserta program sebagai sebuah tim. Contohnya begini, dulu rakyat Indonesia bersatu padu melawan penjajah. Semangat mereka begitu berkobar hingga rela mempertaruhkan nyawa mereka. Semua itu mereka lakukan karena kesadaran yang tinggi untuk merdeka. Tokoh-tokoh bangsa hanya memberikan dorongan dan membakar semangat rakyatnya untuk terus berjuang. Itulah gerakan.

Bagaimana jika merebut kemerdekaan itu dijadikan sebagai program? Tokoh-tokoh bangsa sebagai penyusun program akan menentukan alur program kemudian target keberhasilannya ditentukan. Setelah itu rakyat dipersilahkan untuk terlibat. Yang mau berjuang silahkan yang tidak mau berjuang juga tidak apa-apa. Dalam hal ini merdeka bukanlah kebutuhan bersama melainkan kebutuhan pembuat program.

Indonesia Mengajar dibangun bukan berdasarkan program melainkan sebuah gerakan. Pemuda-pemuda Indonesia diajak untuk membangun Indonesia bersama-sama melalui sektor pendidikan. Mereka diberikan kesadaran bahwa setahun mengajar akan seumur hidup menginspirasi. Terbukti jumlah pendaftar pengajar muda selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Berbicara mengenai gerakan, Anies Baswedan mengajak kita semua untuk mulai melakukan sesuatu. Karena menurutnya di Indonesia sudah terlalu banyak orang yang memiliki gagasan, memberikan solusi, serta menyampaikan kritik. Namun hanya sedikit dari mereka yang memulai untuk melakukan gagasan-gagasan dan solusi-solusi tersebut. Mereka berpikir bahwa tugas mereka hanya menyampaikan buah pikiran sementara orang lain yang akan mengerjakan.




Sesi kedua diisi oleh Didi Petet yang dikenal kiprahnya dalam dunia perfilman nasional. Dengan gayanya yang santai Om Didi memulai presentasi dengan membacakan sebuah puisi. Berikut kutipan puisinya.

Sajak Anak Muda Serba Sebelah

Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Dikirim balik dan jatuh di kuping kiri lagi
Si Toni dipotong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni diambil satu matanya yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa dengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri

Lama-lama si Toni ingin kerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan setir kanan semua

Hai tunggu dulu, Toni ini anak saya kah
Atau anak saudara kah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda.

1977
  
Pusi karya Taufik Ismail tersebut menggambarkan apa yang terjadi pada tahunnya. Banyak makna yang bisa kita tangkap dari pusi itu. Om Didi mengajak kepada kita semua untuk menghargai karya seni. Seni tidak harus untuk dipahami melainkan untuk dinikmati. Kita mungkin tidak paham makna pusi itu, tapi membaca tiap sajaknya kita pun akan mengakui keindahan kata-kata dan kekuatan syairnya.

Pada sesi ini Om Didi lebih banyak berdiskusi kepada peserta melalui forum tanya jawab. Berbagai pertanyaan muncul mulai. Saya pun berkesempatan mengajukan pertanyaan tentang dampak televisi bagi karakter anak dan peran lembaga sensor film, serta keterkaitan antara kurikulum sekolah dan kesenian.

Satu pembicara terakhir cukup membuat saya penasaran. Karena sebelumnya saya belum pernah mendengar nama Handry Satriago. Sehari sebelum acara saya pun mencoba mencari informasi mengenai beliau melalui google. Ternyata beliau adalah CEO General Electric sebuah perusahaan milik Amerika. Yang lebih mengejutkan bahwa ternyata Bang Handry adalah orang Indonesia pertama yang memimpin GE (General Electric).

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah Bang Handry datang dengan kursi roda. Ya, kakinya lumpuh. Saya menjadi semakin tidak sabar untuk mendengar presentasi dan juga penjelasan beliau mengenai kondisi fisiknya.

Bang Handry mengatakan bahwa karakter orang Indonesia adalah sulit mengatakan TIDAK. Itulah yang menyebabkan ia dipilih sebagai CEO GE. Beliau berbeda dari orang Indonesia kebanyakan. Bang Handry menekankan pentingnya memiliki integritas pribadi. Baginya seorang pemimpin harus berani mengatakan apa yang menjadi pendapatnya. Jika setuju katakan setuju, jika tidak setuju maka katakan tidak.

Selain keberanian mengatakan tidak, ada dua karakter lain yang harus dimiliki seorang pemimpin. Yaitu kemampuan bertanya WHY dan WHY NOT. Pertanyaan WHY akan membawa seseorang untuk memahami seluk beluk sebuah persoalan maupun gagasan. WHY NOT menunjukkan bahwa pemimpin harus memiliki gagasan alternatif.

Gaya bicara Bang Handry yang santai namun berwibawa serta kadang Inggris kadang Indonesia membuat semua peserta terpukau. Ketika beliau berbicara semua diam mendengarkan. Dan setelah selesai berbicara serentak semua peserta bertepuk tangan. Bagi saya Bang Handry adalah sosok pembicara ulung.

Tak lupa beliau mengingatkan kepada kita akan pentingnya memiliki paspor dan berpetualang ke berbagai tempat baik dalam maupun luar negeri. Mengunjungi daerah orang lain yang berbeda dari daerah kita akan memperkaya sudut pandang, membuka wawasan, serta mengajarkan kearifan.

Di akhir sesi saat yang saya tunggu-tunggu pun datang. Seorang peserta mengajukan pertanyaan mengenai kondisi fisiknya. Bang Handry lalu menceritakan kisah hidup dan perjuangannya untuk bangkit dari keterpurukan. Kisah beliau bisa dibaca di sini.
 
Ketiga sosok itu, Anies Baswedan, Didi Petet, dan Handry Satriago, adalah 3 matahari yang akan terus menyinari Indonesia. Banyak ilmu dan inspirasi yang telah mereka ajarkan. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana mengkonversi inspirasi menjadi aksi, untuk Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar