Senin, 05 Desember 2011

Hentikan Kebijakan Ujian Nasional Sebagai Syarat Kelulusan, Jangan Biarkan Korban Terus Berjatuhan

“Bayangkan! Jika ada siswa yang memiliki nilai Bahasa Indonesia 9, Matematika 10, sementara nilai Bahasa Inggrisnya di bawah standar kelulusan, berarti siswa itu tidak lulus bukan? Haruskah ia mengulang belajar selama setahun lagi dengan materi-materi yang membosankan? Dengan suasana yang menjenuhkan? Bukankah lebih baik ia mempertajam kemampuannya daripada harus mengulang lagi hanya untuk mencari nilai Bahasa Inggris?” (Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah : Korban UN)

Pada tanggal 25 November 2009 kemarin, bertepatan dengan hari guru, Mahkamah Agung menolak kasasi pemerintah tentang UN. Putusan ini semakin memperkuat bahwa kebijakan UN memang bermasalah dan harus dievaluasi.

Sayangnya hingga hari ini, MA belum mengeluarkan salinan keputusannya. Sehingga banyak pihak hanya bisa memprediksi dan malah menimbulkan multi tafsir. Akan tetapi kita bisa mengacu pada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, yaitu:

1. Menyatakan bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN), khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak;

2. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;

3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;

4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.

Hingga saat ini pemerintah tetap bersikukuh mempertahankan penyelenggaraan ujian nasional. Padahal, jika merujuk pada pertimbangan majelis hakim, penyelenggaraan ujian nasional dari tahun ke tahun telah melanggar hak asasi manusia terutama pelanggaran hak atas pendidikan dan menghambat perkembangan psikologi anak.

Pelanggaran hak yang dimaksud adalah karena belum terpenuhinya hak anak terhadap sarana dan prasarana sekolah yang memadai, kualitas guru yang baik, dan akses informasi yang lengkap.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan, dari 4.437 ruang kelas yang ada di Serang, Banten, hanya 2.270 ruang kelas yang kondisinya baik dan layak untuk kegiatan belajar-mengajar, sedangkan sisanya sebanyak 953 ruangan dalam keadaan rusak berat dan 1.124 rusak ringan.

Data Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas ketika melakukan kajian di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat tahun 2008, sebanyak 2.600 guru telah ikut sertifikasi dan 2600 belum mengikuti sertifikasi. Sedangkan guru yang telah lolos sertifikasi tidak menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan. Motivasi guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial.

Data di salah satu provinsi mengenai akses informasi, hanya terdapat 4.292 guru SD untuk 71.057 siswa, 71 guru SMP untuk 16.705 siswa, 470 guru SMA umum untuk 6.974, dan hanya 5 guru SMK untuk 2.470 siswa.

Kini saatnya mahasiswa sebagai pejuang rakyat menuntut kebijakan UN yang merugikan. Jangan sampai korban-korban kebijakan terus bertambah dan akhirnya anak-anak bangsalah yang harus menanggungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar