Rabu, 27 Juni 2012

Matinya Hati Nurani

Tadi pagi ketika berangkat ke sekolah saya menyaksikan sekumpulan manusia yang mati hati nuraninya. Sekumpulan manusia yang tidak peka, tidak peduli, dan sepertinya tidak punya rasa kemanusiaan. Sehingga sepanjang jalan itu saya kesal. Hati saya panas. Saya ingin bertindak tapi tidak mampu melakukan apa-apa. Saya hanya bisa melihatnya dengan perasaan yang tersiksa.

Saya berangkat dari Tangerang pukul 9 dengan mengendarai motor. Melewati jalan Daan Mogot mengarah ke Cikini Jakarta Pusat. Tepat di depan shelter Dispenda saya mendengar suara sirine yang datangnya dari arah belakang. Suara itu semakin lama terdengar semakin keras. Cukup keras sehingga orang-orang yang sedang duduk di teras tokonya keluar dan melihat apa yang terjadi.

Ternyata suara sirine itu berasal dari sebuah mobil pemadam kebakaran. Di belakang mobil itu ada dua mobil besar pemadam kebakaran yang juga sesekali menyalakan sirinenya. Ketiga mobil itu berjalan beriringan di jalur busway. Saya segera melihat ke arah langit di sekitar saya, sambil terus mengendarai motor, mencari sekiranya ada asap hitam yang mengepul tanda terjadinya kebakaran. Tetapi saya tidak menemukannya. Mungkin kebakarannya terjadi di arah sebaliknya, daerah Tangerang.

Mengenai kenapa jalur busway yang dipilih ketiga mobil itu saya bisa memahaminya. Mereka harus segera sampai di lokasi kebakaran. Karena jika tidak kerugian pasti akan semakin bertambah. Bahkan mungkin juga kebakaran itu telah menyebabkan beberapa orang meninggal. Mereka harus segera tiba di lokasi. Mereka harus segera menyelamatkan banyak nyawa.

Masalahnya, sama seperti kendaraan-kendaraan lainnya, ketiga mobil pemadam kebakaran itu terjebak di kemacetan kota Jakarta. Bahkan jalur busway yang dilaluinya pun tidak lepas dari kemacetan. Itulah yang membuat hati saya tersiksa sepanjang jalan. Orang-orang itu mendengar suara sirine, orang-orang itu tahu ada mobil pemadam kebakaran di belakang mereka. Tapi mereka seperti tidak peduli. Mereka, yang kebanyakan pengendara motor, tetap mengambil jalur busway. Tidak berusaha menepi untuk memberikan jalan bagi mobil pemadam. Hati saya tersiksa. Sekumpulan manusia itu telah mati hati nuraninya.

Peran Pendidikan

Permasalahan ini memberikan tanda tanya besar bagi dunia pendidikan yang selama ini berlangsung. Apakah pendidikan sudah menyentuh unsur-unsur pembentukan kepedulian sosial pada diri siswa? Apakah pendidikan sudah membentuk manusia-manusia yang memiliki kepekaan nurani? Jika semua itu tidak ada, apalah artinya pendidikan jika hanya mencetak manusia-manusia yang sekedar mengejar angka-angka di atas kertas, tapi lemah secara moral?

Saya teringat pada kata-kata yang ditulis Ayah Edy, praktisi multiple intelligence dan holistic learning, bahwa para guru di Australia jauh lebih khawatir jika anak-anak murid mereka tidak mau mengantri, menyeberang jalan dengan benar, berkata dengan jujur, mengelola sampah dengan baik, berbicara dengan santun, berempati, peduli terhadap teman dan lingkungan serta berpikir kritis terhadap hal-hal yang merusak atau menggangu, ketimbang jika anak kelas lima mereka tidak menguasai matematika dan pelajaran akademis lainnya. Hal-hal seperti itu lebih mereka utamakan karena mereka mengatakan bahwa kita hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa matematika, namun diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa membuat seorang anak mampu berempati, peduli teman dan lingkungan serta memiliki karakter yang mulia untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Pendidikan seharusnya lebih diarahkan untuk mendidik hati daripada otak. Rasulullah saw pernah bersabda, "Ketahuilah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi bila rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)

Manusia yang dididik menjadi pintar tapi moralnya rusak hanya akan menjadi penjahat yang cerdas. Sedangkan manusia yang dididik moralnya akan bermanfaat di manapun ia berada. Jika ia pintar ia akan membawa kebaikan bagi sekitarnya. Namun jika ia tidak pintar pun setidaknya ia tidak menjadi ancaman bagi lingkungan sekitarnya.

Sudah saatnya bagi kita untuk merenungkan kembali hakikat pendidikan yang kita jalankan selama ini. Jangan sampai kita membidani kelahiran sebuah generasi yang mati hati nuraninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar