Senin, 19 Mei 2014

Bincang Pendidikan Indonesia (1)

Kemarin saya menghadiri acara Bincang Pendidikan Indonesia di Universitas Siswa Bangsa Internasional atau yang lebih dikenal sebagai Sampoerna School. Kampus ini terletak di daerah Pancoran Jakarta. Dua tahun yang lalu saya pernah mengikuti konferensi pendidikan nasional di tempat ini, sebuah acara yang sangat berkesan dengan teman-teman dari seluruh Indonesia. Dan kemarin, saya kembali ke tempat tersebut untuk belajar dan menuntut ilmu pendidikan dari berbagai narasumber yang telah disiapkan oleh penyelenggara.

Konsep acara dibuat sedemikian santai. Berbagai komunitas hadir untuk berbagi pengalamannya. Ada Suara Anak yang menampilan 4 anak usia SD untuk tampil dan menceritakan minatnya pada bidang tertentu, ada Peduli Musik Anak yang mengajak peserta menyanyikan lagu-lagu anak dan memahami pentingnya lagu untuk anak, ada Kartunet atau karya tunanetra yang memberi spirit bahwa semua manusia berhak diakui dan dihargai. Semua yang disampaikan narasumber menarik untuk dicermati. Di sini saya akan bercerita mengenai gagasan-gagasan apa saja yang disampaikan dan apa yang nantinya perlu kita lakukan.

Mas Kreshna Aditya sebagai pemandu acara di sesi pertama memanggil 3 orang untuk berbagi yaitu Ibu Suharti peneliti dari Bappenas, Ibu Nenny dari Putera Sampoerna Foundation, dan Pak Harry yang mengisi kekosongan karena Prof Daniel Rosyid mengalami keterlambatan pesawat. Walaupun sebagai pengganti tetapi gagasan yang disampaikan sungguh sangat menarik.

Melalui slide-slidenya Ibu Suharti menampilkan banyak data statistik tentang akses dan mutu sekolah di Indonesia. Intinya akses masyarakat Indonesia terhadap sekolah mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini tentu harus diapresiasi. Namun sayangnya peningkatan akses tidak diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan. Fakta yang terjadi terkait dengan Ujian Nasional adalah katrol nilai besar-besaran yang dilakukan oleh sekolah. Saya sendiri mengiyakan fakta ini karena pernah mengalaminya sendiri di sekolah tempat saya dulu mengajar. Guru diinstruksikan oleh kepala sekolah untuk "mengatur" nilai agar semua siswa bisa lulus bila nilai UN digabungkan dengan nilai US.  Bahkan saya dan semua guru diminta untuk memperbaiki lembar jawaban siswa agar nilainya mencapai target yang ditentukan sekolah. Saya menolak tapi akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan kasus seperti ini sungguh terjadi hampir di semua sekolah di Indonesia. Tidak percaya? Silahkan cek sendiri.

Ibu Nenny dari PSF lebih banyak bercerita mengenai program-program pendidikan dan beasiswa yang diberikan kepada anak-anak cerdas dari kelompok ekonomi rendah. Dalam kesempatan tersebut beliau juga banyak menyoroti pentingnya pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dunia bisnis dan industri. Sebagai contoh, Indonesia dalam 2 tahun ke depan akan memiliki fasilitas pemeliharaan dan perbaikan pesawat sendiri. Karena saat ini yang tersedia hanya untuk pesawat Garuda Indonesia sementara pesawat-pesawat nasional lain harus diperbaiki di Singapura. Pertanyaannya, jika 2 tahun ke depan fasilitas tersebut sudah tersedia siapakah yang akan menjadi teknisi-teknisinya? Lagi-lagi orang asing karena lulusan teknik Indonesia jumlahnya sedikit, apalagi yang berkompeten sungguh sangat sedikit.

Narasumber ketiga Pak Harry cukup berbeda karena melihat pendidikan bukan dari sekolah melainkan komunitas. Beliau menyebutnya Community Based Education. Menurutnya agar pendidikan itu nyambung maka harus memiliki keempat hal ini: potensi individu, potensi daerah, problematika lingkungan lokal, dan sistem hidup. Pendidikan harus "mengeluarkan" potensi individu anak. Maka jangan suruh anak belajar semua hal tapi dorong ia belajar hal-hal yang disukainya, maka ia akan menjadi ahli dalam bidang tersebut. Jangan ajarkan menghitung apel di daerah-daerah pantai, karena anak tidak pernah berkutat dengan apel melainkan ikan. Tidak perlu kurikulum yang ribet untuk sekadar lulus, jika mereka di lingkungan pantai maka ketika anak sudah bisa membuat perahu maka ia lulus. Pak Harry juga menampilkan gambar semacam ini.


Kondisinya ada anak SD menyeberang hutan tanpa jembatan yang layak. Sementara ada gambar lain yang masyarakatnya tidak sekolah tapi mereka bisa membangun jembatan yang baik. Kenapa masyarakat yang sekolah justru tidak bisa membangun jembatan? Apakah pendidikan bermakna bagi lingkungannya? Bagi Pak Harry, pendidikan harus dibuat lebih simpel dan berbasis potensi.

Dalam sesi tanya jawab ada pertanyaan mengenai kejujuran di sekolah. Seorang narasumber menceritakan saran yang diberikan seorang observer pendidikan dari Jepang ketika berkunjung ke Indonesia, yaitu perbanyak guru anak usia dini yang baik. Hal lain yang juga disampaikan adalah data bahwa 90% profesional hidupnya tidak bahagia dan 60% guru di Jakarta tidak berkompeten menjadi guru.

Lalu apa yang perlu kita lakukan?


*semoga tulisannya berlanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar